Sabtu, 09 Juli 2011

Vihara Vipassana Giriratana: Cerita Jakata : "SANJAYA"

Vihara Vipassana Giriratana: Cerita Jakata : "SANJAYA": "8. S A ö J A Y A. 'Mereka yang menganggap benar pada hal yang tidak benar ....................... ' Ajaran Dhamma ini dibabarkan..."

Cerita Jakata : "SANJAYA"

8.    S A ö J A Y A.


"Mereka  yang  menganggap  benar  pada hal yang tidak benar......................."
Ajaran Dhamma ini dibabarkan oleh Sang Buddha, ketika beliau berdiam di Veluvana, sehubungan dengan. kata-kata yang diucapkan oleh seorang murid ternama dari seorang petapa bernama Sanjaya yang menolak untuk bertemu dengan Sang Buddha, ceriteranya adalah sebagai berikut :

a.         Kehidupan Sang Buddha.

Ernpat Asankheyya kappa dan seratusribu kappa yang lalu, Sang Guru kita lahir sebagai anak seorang Brahmana, bernama Sumedha di kota Amaravati. Setelah la mendapat pendidikan diberbagai bidang, la meninggalkan semua harta kekayaannya yang tidak terbilang banyaknya, didapatnya sebagai warisan dari orang tuanya.yang telah meningeal, ia menjadi petapa dan berdiam di. pegunungan Himalaya. Disitulah ia bersamadhi hingga mendapat kekuatan batin ( iddhi viddhi ). Pada suatu hari Sammã SamBuddha Dipañkara yang memiliki Dasa Bala (sepuluh macam kekuatan) keluar dari Vihara Sudassana ke kota Ramrtia, dan para penduduk keluar rumah membersihkan jalan. Pada saat itu Sumedha sementara terbang diangkasa dan melihat jalan sedang dibersihkan. la memilih bagian jalan yang belum dibersihkan dan mulai membersihkannya, tetapi belum selesai ia membersihkan jalan tersebut. Sang Buddha telah datang, ia membuka dan menutupkan mantel kijangnya diatas lumpur, lalu merebahkan dirinya diatas mantel tersebut supaya ia dijadikan semacam jembatan, dan berkata : "Semoga Sang Guru dan murid-muridNya tidak berjalan di atas lumpur, tetapi menginjak saya, agar supaya la dapat meneruskan perjalananNya."
Ketika Buddha Dipañkara melihat Sumedha, beliau berkata : "Kelak dikemudian hari kau akan menjadi Buddha, empat Asankheyya kappa dan seratus ribu kappa kemudian, kau akan menjadi Buddha dengan nama Gotama". Demikianlah Buddha Dipañkara meramalkan brahmana Sumedha.
Setelah Dipañkara Buddha parinibbana, muncul Buddha-Buddha. : Kondañña, Mãngala, Sumana, Revata, Sobhita, Anomadasi, Paduma, Nãrada, Padumuttara, Sumedha, Sujãta, Piyadassã, Atthadassã, Dhammadassã, Siddhatta, Tissa, Phussa, Vipassi, Sikkhã, Vessabhū, Kakusandha, Konagamana dan Kassapa. Satu persatu Buddha ini muncul di dunia dan mengajarkan Dhamma, dan dari setiap Buddha-Buddha ini, petapa Sumedha pada setiap kehidupannya mendapat ramalan bahwa pada suatu hari kelak ia akan menjadi Buddha. Setelah kehidupannya (yang berulang-ulang kali itu) hampir memenuhi sepuluh paramita, sepuluh Culla paramita dan sepuluh mahâ paramitanya, ia punabbhava sebagai Vessantara; dan dalam kehidupannya sebagai Vesantara ini ia memberikan dana yang luar biasa sekali sehingga terjadi gempa bumi (Vessantara Jataka), dan pada kehidupan tersebut juga ia meninggalkan anak dan isterinya. Akhirnya karena umurnya telah mencapai batasnya, ia meninggal dan terlahir di surga Tusita, dan dalam masa kehidupannya di alam Tusita, para devata dari seribu dunia (loka) berkumpul dan berkata kepadaNya :
"Hai pahlawan perkasa, waktu telah tiba,
lahirlah kedalam rahim ibumu.
Selamatkanlah para devata dan manusia,
 temukanlah kekalan hidup."
Lalu la melakukan lima (panca) Maha Vilokana, lenyap dari alam itu, dan punabbhava dalam keluarga Sakya. Dan dalam keluarga kerajaan ini ia dibesarkan dengan penuh kesenangan sampai dewasa. la menikmati masa muda Nya dalam tiga istana yang disesuaikan dengan tiga musim disetiap tahun, menikmati kenikmatan dan keagungan yang dapat dibandingkan dengan kehidupan devata. Akhirnya selama tiga hari ia melihat berturut-turut tiga Deva-duta yaitu : orang tua renta, orang sakit dan orang mati. Setiap kali kembali dari melihat hal-hal tersebut, ia diliputi kesedihan. Pada hari ke empat , ia melihat seorang meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi petapa. "Adalah baik bagi saya meninggalkan kehidupan duniawi untuk menjadi petapa," gumannya, karena menginginkan kehidupan spirituil; dengan pikiran begitu ia datang ke taman kerajaan untuk menghabiskan waktu dengan duduk di tepi kolam. Selagi ia duduk disitu, Deva Vissakamma menghampirinya dengan menyaru sebagai barbir, mengenakan kepadaNya paKalan mahal dan mendandaninya dengan berbagai perhiasan. Ditempat itu pula ia mendapat berita bahwa puteranya telah lahir, Pangeran Rahula; menyadari kasih-sayangNya yang kuat sekali pada puteranya, ia berpikir: "Saya harus cepat-cepat memutuskan belenggu ini, bila terlambat ini akan lebih kuat dan, sulit bagi Saya." Diwaktu malam selagi la memasuki kota, la mendengar Kissa Gotami, anak perempuan saudara ayahnya, mengucapkan gatha ini :
"Sungguh bahagia Sang lbu,
sungguh bahagia Sang Ayah,
Sungguh bahagia isteri
yang bersuamikan seperti dia."
Ketika ia mendengar Kissa Gotami mengucapkan githa itu, ia berguman : "Wanita  ini telah  mengajarkan  padaku dimana  kebahagiaan tertinggi dapat dicapai," dan melepaskan kalung permataNya, memberikan kepada Kissa Gotami. Seteiah ia tiba di istana ia duduk diatas tempat duduk (khusus dalam kerajaan), melihat hal-hal  yang menjijikkan dari  para  penari yang ketiduran. Dengan perasaan demikian ia membangunkan Channa, kusirNya untuk menyiapkan kuda Kanthaka dan membawanya padaNya, la menunggangi Kanthaka dan Channa menemaniNya, serta dikelilingi oleh para devata dari sepuluhribu loka, ia berangkat. Sampai di tepi sungai Anoma, ia meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi   petapa. Setelah menjadi petapa, ia masuk ke Rajagaha untuk pindapata, kemudian ia ke gunung Pandava, dan berdiam di gua Pandava. Selagi la berdiam di gua ini, Raja Magadha datang kepadaNya memberikan kerajaarnnya kepadaNya, tetapi pemberian ini ditolakNya.- la berjanji kepada raja, bahwa bilamana  ia telah  mencapai  ke-Buddha-an, la akan datang  ke kerajaannya. Kemudian ia berguru kepada Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, tetapi setelah mengikuti ajaran mereka, ia belum juga dapat menjadi Arahat. Selanjutnya selama enam tahun, ia berusaha dan berjuang dengan sungguh-sungguh.
Akhirnya pada suatu hari bulan-purnama di bulan Visakha, setelah ia makan bubur yang diberikan oleh Sujata kepadaNya, la menghanyutkan patta emasNya di sungai Neranjara, dan menghabiskan masa siang dengan mencapai berbagai tingkat Jhana di hutan Mahavana. Diwaktu malam la mendengar puji-pujian tentang sifat-sifatnya yang agung dari Kala, raja Naga, lalu duduk di "singgasana Kebijaksanaan", (bodhimanda) menerima ikatan-ikatan rumput yang diberikan oleh Sotthiya, menghamburkan rumput tersebut didepannya, lalu la bertekad : "Saya tidak akan meninggalkan atau merubah posisi ini sampai saya dapat melenyapkan keinginan duniawi dan hatiku bersih dari semua kekotoran batin."
Dengan duduk menghadap ke Timur, dan sebelum matahari terbenam la telah mengalahkan Mâra. Pada masa waktu pertama, la mendapat Pengetahuan tentang Kehidupan yang larnpau (Pubbenivasañâna); pada masa kedua mendapat Pengetahuan tentang meninggalnya mahluk-mahluk dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain (Cutupapatañâna), dan akhirnya pada masa terakhir la mendapat kemampuan mengetahui sebab-sebab kehidupan, mencapai ke-Maha tahuan ( Sabbaññnutañâna ), sepuluh Kekuatan ( Dasa Bala ), empat pokok keyakinan, dan Kesucian Agung. Selama tujuh minggu Beliau berada di 'Singgasana Kebijaksanaan', pada minggu ke delapan beliau duduk di bawah pohon beringin Ajapalanigrodha merenungkan tentang dalam dan halusnya Dhamma, Beliau menyadari bahwa orang lain sulit untuk menyelami Dhamma.
Segera Brahma Sahampati disertai oleh mahluk dari sepuluhribu loka menghampiri beliau dan mohon padaNya untuk mengajarkan Dhamma bagi orang lain. Setelah melihat dunia dengan Mata ke BuddhaanNya, Beliau menyetujui permohonan Brahma Sahampati.
"Kepada siapakah Saya akan mengajarkan Dhamma lebih dahulu ?" pikir Beliau. Setelah melihat dunia, Beliau mengetahui bahwa Alara dan Uddaka telah meningal dunia. Beliau teringat kepada lima pertapa, Beliau bangkit dan pergi ke Kasipura, ditengah jalan Beliau bertemu dengan Upaka dan bercakap cakap dengannya.
Pada hari bulan purnama di bulan Asalha beliau tiba di Taman Rusa Isipatana, ditempat pertapaan dari lima petapa, dan ketika ke lima petapa bersikap tidak mengacuhkan Beliau, la mengajarkan mereka supaya bersikap yang pantas. Sesudah itu Beliau membabarkan Roda Dhamma(Dhammacakkapavattana Sutta) memberikan air kehidupan kekal bagi seratus delapanpuluh koti Brahma, dan yang paling penting adalah petapa Aññakondañña.  Setelah membeberkan  Dhammacakkapavattanasutta, pada hari kelima dari pertengahan bulan (bulan purnama) beliau membimbing merska mencapai Arahat. Pada hari yang sama pula Beliau mengetahui bahwa Yassa kumara mempunyai kesanggupan untuk menjadi suci (ariya), Ketika Yassa meninggalkan rumah karena bosan melihat kejadian dimalam harinya, Beliau bertemu dengannya, meng-upasamadakannya menjadi bhikkhu dengan berkata, "Ehi (datanglah) Yassa,". Pada malam harinya Beliau mengajarkan Dhamma sehingga Yassa menjadi Sotapanna, dan pada hari berikutnya ia menjadi Arahat. Setelah itu Beliau mengupasampadakan limapuluh empat teman Yassa, dengan mengatakan, "Ehi Bhikkhu," sesudah itu Beliau membimbing mereka dan akhirnya menjadi Arahat.
Maka pada waktu itu di dunia ini ada enampuluhsatu Arahat. Selesai melaksanakan masa Vassa, Beliau mengirim ke enampuluh arahat keseluruh dunia dengan berkata : "0, para bhikkhu, pergilah mengajar dan membimbing.... (dan seterusnya)" Sedangkan Beliau sendiri ke Uruvela, ditengah perjalanan ke Uruvela di Taman Kappasika, Beliau mengajarkan Dhamma pada tigapuluh pemuda yang dikenal dengan  Bhaddavaggiya, di antara mereka yang muda menjadi Sotapanna sedangkan yang tua menjadi Anagami. Mereka semua ditahbiskan menjadi bhikkhu dengan mengatakan : "Ehi bhikkhu," setelah melakukan hal ini beliau menyuruh mereka untuk membabarkan Dhamma pula. Setiba di Uruvela, Beliau melakukan seribu keajaiban, dan meyakinkan Uruvela Kassapa, Nadi Kassapa dan Gaya Kassapa. Ketiga kakak-beradik ini adalah petapa-petapa Jatila (rambut berkonde) dan mempunyai seribu murid. Petapa petapa ini di ajari Dhamma, setelah itu mereka diterima Beliau menjadi, bhikkhu dengan berkata : "Ehi bhikkhu." Mengumpulkan mereka di Gayasisa dan mengajarkan kepada mereka Aggi Sutta (Khotbah Api), selesai mendengar Sutta tersebut mereka semua menjadi Arahat, dan dengan disertai oleh seribu bhikkhu ini Beliau pergi ke Taman Latthivana dekat kota Rajagaha dengan maksud untuk memenuhi janji Beliau kepada Raja Bimbisara.
"Sang Buddha telah tiba," demikianlah berita yang tersiar. Setelah mendengar berita ini Raja Bimbisara datang bersama-sama duabelas nahuta Brahmana, bagi Raja ini Sang Buddha mengajarkan Dhamma dengan cara yang menyenangkan sekali dan tepat, mengakibatkan Raja dan sebelas nahuta Brahmana menjadi Sotapanna sedangkan satu nahuta brahmana menjadi orang yang berkeyakinan pada Sang Buddha. Keesokan harinya Beliau mendengar pujian tentang ke AryaanNya dari deva Sakka yang menyaru sebagai seorang pemuda brahmana, dan sesudah itu Beliau masuk ke kota Rajagaha. Selesai makan di Istana Raja, Beliau menerima pemberian Vihara Veluvana dari Raja Bimbisara, dan berdiam di vihara itu. Dan ditempat inilah Sariputta dan Mogallana menjadi murid Beliau.

b.        Upatissa ( Sariputta ) dan Kolita ( Moggallana )

Sebelum Buddha Gotama muncul di dunia ini, terdapatlah dua desa Brahmana yang terletak tak jauh dari Rajagaha bernama desa Upatissa dan Kolita. Pada suatu hari isteri brahmana bernama Rupasari dari desa Upatissa hamil; demikian pula dengan isteri brahmana bernama Moggalli dari desa Kolita, hamil pula. Dikatakan pula bahwa sejak tujuh keturunan kedua keluarga ini sangat bersahabat dan selalu bergotong royong. Mereka melakukan upacara perlindungan bagi ke dua ibu ini. Dan setelah sepuluh bulan kemudian, mereka berdua sama-sama melahirkan anak laki-laki.
Pada hari pemberian nama, mereka menamakan Upatissa kepada anak dari brahmana Sari, bernama demikian karena ia adalah anak dari kepala desa tersebut, sedangkan anak dari desa Kolita dinamakan Kolita karena ayahnya adalah  kepala desa tersebut. Ketika ke dua anak tersebut dewasa, mereka telah mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang perlu diketahui.. Apabila Upatissa pergi mandi atau jalan-jalan ditaman dan lain-lain, ia diikuti oleh limaratus tandu-tandu emas; sedangkan Kolita diikuti oleh limaratus kereta ditarik oleh kuda yang bagus. Mereka semua mempunyai pengiring sebanyak limaratus orang.
Pada waktu di Rajagaha diadakan perayaan 'Giraggasamajjo' yang diadakan setiap tahun, tempat duduk kedua pemuda tersebut ditempatkan pada tempat yang sama, kedua pemuda itu duduk bersama dan menonton pertunjuk kan. Bila pertunjukan itu lucu mereka tertawa, kalau sedih mereka menangis, bila tiba waktunya untuk memberikan dana mereka memberikan dana. Mereka menonton pertunjukan ini selama tujuh hari. Tetapi pada suatu hari mereka menjadi bosan dan lesu, walaupun lucu mereka tidak tertawa, bila sedih mereka tidak menangis, dan waktu memberikan dana mereka tidak memberikan dana.
Diceriterakan bahwa pikiran berikut ini yang muncul pada dua pemuda tersebut : "Untuk apa kita menonton pertunjukan ini ? Sebelum seratus tahun berlalu, semua orang-orang ini telah mati dan tiada lagi. Lebih baik mencari jalan pembebasan." Mereka duduk dengan pikiran begitu di benak mereka. Kemudian Kolita berkata kepada Upatissa : "Kawan Upatissa, kau kelihatan tidak gembira seperti hari-hari yang lalu ?"
"Kawan Kolita, saya berpikir bahwa akhirnya tidak akan ada kepuasan melihat pertunjukan ini, ini semua adalah tidak berguna, saya berpendapat lebih,baik mencari jalan pembebasan. Tetapi mengapa kau sedih pula ?"
Kolita menceriterakan hal yang sama.
Ketika Upatissa mengetahui bahwa pikirannya adalah sama, ialu ia berkata: "Kita berdua mempunyai pikiran bahagia, yang mendorong kita untuk mencari jalan pembebasan dan meninggalkan kehidupan duniawi bersama, kita akan berguru kepada siapakah nanti ?"
Pada masa itu petapa-kelana bernama Sanjaya masuk ke kota Rajagaha diikuti oleh banyak murid-muridnya. "Kita akan meninggalkan hidup keduniawian, menjadi petapa dibawah bimbingan Sanjaya," kata Kolita dan Upatissa bersama. Demikianlah mereka menyuruh lima ratus pengiring untuk pulang: "Bawalah tandu-tandu dan kereta-kereta itu." Dan bersama dengan limaratus pengiring lainnya mereka menjadi petapa dibawah bimbingan Sanjaya. Pada suatu. hari mereka bertanya kepada guru mereka : "Guru hanya ini semuakah ajaran kebenaran yang kau tahu, atau apakah ada yang lain ?" "Hanya ini semua, dan kamu telah mengetahuinya semua." Upatissa dan Kolita berpikir: "Bila hanya begini saja, maka adalah percuma menjadi muridnya terus-menerus. Tujuan kita adalah untuk mencari kebebasan, kita tidak akan mendapatkannya dari guru ini. Jarnbudipa (India) adalah amat luas, maka sebaiknya kita berkelana masuk desa, kota dan hutan. Kita pasti akan mendapatkan guru yang membimbing kita kearah pembebasan." Sejak itu bila mereka mendengar ada petapa atau brahmana yang pintar, mereka mendatanginya dan berdiskusi. Semua pertanyaan yang mereka tanyakan, tidak terjawab oleh petapa-petapa tersebut, tetapi semua pertanyaan yang ditanyakan kepada mereka oleh petapa-petapa tersebut dapat mereka jawab. Dengan cara ini mereka berkelana diseluruh Jarnbudipa. Akhirnya mereka kembali, tetapi sebelum mereka berpisah Upatissa berkata kepada Kolita : "Kawan Kolita, siapa diantara kita lebih dahulu mencapai 'kekekalan' katakanlah kepada yang lain." Setelah membuat persetujuan ini mereka berpisah.
Sementara mereka hidup dengan perjanjian ini. Sang Buddha berkelana dari satu tempat ke tempat lain dan akhirnya tiba di Rajagaha, menerima pemberian Vihara Veluvana dan berdiam di vihara tersebut, seperti disebutkan di atas. Setelah Sang Buddha menyuruh enampuluh satu (termasuk Beliau sendiri) untuk membabarkan Dhamma, kebajikan Tiratana, dengan berkata: "Pergilah, para bhikkhu, membimbing dan mengajarkan          ",   salah seorang dari ke lima bhikkhu (pancavaggiya), yaitu bhikkhu Assaji kembali dan berada di Rajagaha, dan ke esokan harinya di waktu pagi ia mengambil civara dan pattanya masuk ke kota Rajagaha untuk pindapata. Pada hari yang sama diwaktu pagi itu pula, petapa Upatissa setelah makan pagi, pergi ke tempat pertapaan para petapa, ditengah jalan ia melihat bhikkhu Asaji. Ketika ia meiihat bhikkhu ini ia berpikir : "Sebelumnya, belum pernah saya melihat petapa seperti ini, ia mesti petapa yang telah mencapai ke Arahatan dalam dunia ini, atau orang yang telah memasuki jalan kearah ke Arahatan. Sebaiknya saya menemui petapa ini dan bertanya kepadanya' untuk apa saudara menjadi petapa, siapakah guru saudara, ajaran apakah yang saudara anuti ?' Kemudian muncul pikiran sebagai berikut : 'Adalah bukan waktu yang tepat untuk bertanya kepada petapa ini. karena ia sedang pindapata, sebaiknya saya akan mengikutinya dari belakang, bagaikan orang yang sangat membutuhkan sesuatu.
Setelah melihat bahwa samana tersebut telah menerima dana makanan dan akan pergi ke tempat tertentu, dan ketika mengetahui bahwa ia mau duduk, Upatissa meletakkan tempat duduknya lebih dahulu dan mempersilahkan samana itu duduk. Dan ketika samana telah selesai makan, ia memberikan air minun kepadanya. Setelah melakukan tugas-tugas seperti murid kepada gurunya, ia menghormati bhikkhu Assaji dengan sopan dan berkata: "Saudara indriya saudara adalah tenang dan seimbang, warna kulitmu bersih dan bercahaya. Untuk apakah saudara menjadi samana, siapakah guru saudara, dan ajaran apa yang saudara anuti ?"
Bhikkhu Assaji berpikir : "Petapa ini menanyakan Dhamma yang saya yakini, karena itu saya akan menerangkan kedalaman dari dhamma." Tetapi terlebih dahulu ia menerangkan bahwa ia adalah murid baru dengan berkata: "Saudara saya adalah murid baru, belum lama saya menjadi bhikkhu,baru saja saya mengikuti Dhamma ini, sekarang ini saya belum dapat membabarkan Dhamma secara mendalam."
Pikir petapa : "Saya adalah Upatissa, katakanlah sedikit atau banyak semampu-mampumu saya akan mengerti maksud tujuannya dalam seratus atau seribu cara." Sebab itu ia berkata :
"Katakanlah sedikit atau banyak,
katakan padaku intinya saja,
saya hanya membutuhkan bagian pokoknya saja,
mengapa mesti banyak-bahyak ?"
Untuk menjawab ini Bhikkhu Assaji mengucapkan ( baris pertama dari) gatha ( syair) ini :
"Segala sesuatu timbul karena adanya sebab,
sebab itu telah dibabarkan oleh Sang Buddha.
( "Ye dhamma hetuppabhavâ,
Tesaÿ hetuÿ tathagato)
Segera setelah Upatissa mendengar baris pertama ini, ia menjadi Sotapanna, sempurna  dalam seribu cara. Setelah ia menjadi Sotapanna, bhikkhu Assaji meneruskan baris kedua :
Dan  bagaimana untuk melenyapkan  itu,
juga telah dibabarkan Oleh Maha Samana
( Tesañca yo  nirodho  ca,  
evamvâdī  mahâ  samanoti )."
la menjadi Sotapanna, tetapi pencapaian tertinggi gagal tercapai. la berpikir : "Tentu ini terjadi karena ada sebabnya," lalu ia berkata kepada Bhikkhu Assaji : "Tidak perlu mengajarkan Dhamma lebih lanjut, berakhir disini saja. Dimanakah Guru kita berada ?"
"Di Veluvana, kawan."
"Baiklah bhante, pergilah dahulu, saya mempunyai teman, dia dan saya telah membuat perjanjian yaitu, 'barang siapa diantara kita yang telah mencapai 'kekekalan' harus memberitahukan kepada yang lain'. Lebih dahulu saya akan membawa temanku itu kepada Guru dan akan mengikuti jalan yang telah bhante gunakan." Setelah berkata, Upatissa bernamaskara menghormat Bhikkhu Assaji, jalan memutar tiga kali kekanan dan minta permisi kepada Beliau, kemudian pergi menemui temannya.
Petapa kelana Kolita melihat ia mendatangi dari jauh dan berguman : "Hari ini cahaya wajah temanku lain dari pada hari yang lain, ia tentu telah mencapai Amata (kekekalan)". Karena itu Kolita langsung menanyakan apakah ia telah mencapai Amata (kekekalan). Upatissa menjawab : "Ya saudara, saya telah mencapai Amata." Setelah Upatissa menjawab, ia mengulangi gatha yang diucapkan oleh bhikkhu Assaji. Pada akhir dari gatha tersebut Kolita menjadi Sotapanna.
Lalu Kolita berkata : "Dimanakah Guru kita berada ?"
"Di Veluvana, kawan. Hal ini diberitahukan oleh guru kita Assaji."
"Baiklah, kawan, marilah kita pergi menemui Guru."
Disebutkan bahwa Sariputta mempunyai sifat khusus, yaitu sangat menghormati guru. Sebab itulah ia berkata kepada kawannya : "Kawan, marilah kita beritahukan kepada guru kita petapa-kelana Sanjaya, bahwa kita telah mencapai amata. Mungkin ia akan mengerti dan tersadar, tetapi mungkin tidak, bilamana ia yakin bahwa kita mengatakan hal yang benar, dan setelah mendengar ajaran Sang Buddha ia akan mencapai Magga dan Phala." Demikianlah mereka berdua pergi menemui petapa Sanjaya. Ketika Sanjaya melihat mereka, ia bertanya: "Apakah kau berhasil bertemu dengan orang yang dapat menunjukkan jalan kekekalan (amatamagga) ?"
"Ya guru, kami telah menemukannya. Sang Buddha, Dhamma dan Sangha telah muncul di dunia ini, kau mengikuti jalan yang hampa. Marilah pergi kepada guru."
"Kamu dapat pergi, tetapi saya tidak "
"Mengapa ?"
"Karena saya telah lama menjadi guru dari banyak orang, dan sekarang akan menjadi murid lagi, hal ini adalah tidak mungkin, bagaikan menimba air dengan keranjang. Saya tidak mungkin hldup sebagai murid lagi! Kamu boleh pergi, tetapi saya tidak."
"Guru sejak Sang Buddha muncul di dunia ini, orang-orang menghormati beliau dengan dupa, bunga-bungaan dan lain-lain, marilah kita pergi kepadanya juga. Apakah yang mau kau lakukan ?"
"Yang manakah lebih banyak dalam dunia ini, orang bodoh atau orang pandai ?"
"Guru, orang. bodoh yang banyak, sedangkan orang pandai hanya sedikit saja."
"Baiklah, biarlah yang pandai pergi kepada petapa Gotama, dan orang bodoh kepada saya. Kamu boleh pergi tetapi saya tidak."
"Kau akan menjadi orang terkenal guru," kata kedua orang bekas muridnya dan pergi.
Setelah mereka pergi para pengikut petapa Sanjaya bubar, dan tak lama kemudian taman tempatnya menjadi ,kosong. Ketika Sanjaya melihat taman telah menjadi kosong, ia muntah darah. Lima ratus paribajjaka (petapa-kelana) mengikuti kedua petapa bersahabat tersebut, dari jumlah itu duaratus limapuluh yang masih patuh pada petapa Sanjaya kembali, tetapi duaratus limapuluh lainnya diterima menjadi murid mereka berdua dan dibawa ke Veluvana.
Sementara   Sang   Guru   duduk mengajarkan   Dhamma   kepada   'empat kelompok' muridNya, la melihat ke dua petapa yang sedang mendekat dari jauh. Segera Beliau berkata kepada para bhikku : "O bhikkhu, dua orang yang bersahabat Kolita dan Upatissa datang. Mereka akan menjadi 'sepasang murid' Ku (Sivakayuga), sepasang murid Agung (Aggasavako ) dan hebat." Kedua paribajjako (petapa kelana) menghormat kepada Sang Guru, duduk disalah satu sisi dengan tertib, dan berkata : "Bhante, terimalah kami menjadi pabbajja (bhikkhu) di bawah bimbinganMu, upasampadakanlah kami."
Sang Buddha menjawab : "Etha bhikkhavoti (Datanglah kamu, bhikkhu)" Dhamma telah dibabarkan dengan baik, hiduplah dalam kesucian (brahmacari) untuk mengakhiri semua dukkha (penderitaan)".
Segera setelah mereka memiliki patta dan civara yang muncul secara gaib dan menjadi seperti Thera yang telah seratus vassa. Karena adanya pengikut-pengikut mereka, maka Sang Guru lebih lanjut membabarkan Dhamma, akhirnya kecuali mereka berdua ( Sariputta dan Moggallana) semuanya menjadi Arahat. Bagaimanapun juga kedua bakal Aggasavaka ini belum menyelesaikan kewajiban untuk mencapai Uparimagga (pencapaian tertinggi). (Apakah sebabnya ? ini terjadi karena kebesaran paramita mereka untuk menjadi Aggasavaka).
Ketika bhikkhu Mogallana berdiam di dekat desa Kallavala, di kerajaan Magadha, yaitu setelah ia menjadi bhikkhu selama tujuh hari, ia merasa lesu dan ngantuk (thinamiddha). Tetapi Sang Buddha memberikan semangat kepadanya, dan mengatasi kelesuan dan ngantuk, serta berusaha dengan sungguh sungguh melaksanakan meditasi dengan menggunakan objek (dhatukammathana) yang diberikan oleh Tathagata, menyelesaikan samadhi untuk mencapai Uparimaggatayakicca dan mencapai paramita. pengetahuan bagi Savaka (Savakaparaminaha).
Sedangkan Sariputta, setelah ia menjadi bhikkhu, selama dua minggu berdiam di Gua Surakarakhata dekat kota Rajagaha. Setelah mendengar uraian Vedanapariggaha Suttanta oleh bhikkhu Dighanakka (masih kemenakannya), ia memusatkan pikirannya pada sutta tersebut, dan bagaikan orang yang makan bubur, ia mencapai Sivakaparaminana, menjadi Arahat.
(Jelaslah bahwa Bhikkhu Sariputta adalah sangat pandai, tetapi mengapa ia membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada Moggallana untuk mencapai Sivakaparaminana ? Sebab persiapan-persiapannya adalah sangat banyak. Untuk kita mengerti hal ini dimisalkan sebagai raja yang bilamana akan berpergian, ia harus melakukan banyak persiapan dahulu, seperti menyiapkan perlengkapan-perlengkapan untuk kereta, gajah dan seterusnya. Tetapi bagi orang kebanyakan (biasa), bilamana mau pergi ia akan segera pergi berjalan tanpa banyak hal yang dipersiapkan).
Pada hari ketika Sariputta dan Moggallana menjadi bhikkhu, di sore harinya Sang Guru mengumpulkal murid-murid di Veluvana, lalu menunjuk posisi atau kedudukan Aggasavaka kepada mereka berdua, dan mengucapkan patimokha. Para bhikkhu merasa ada kekeliruan dan berkata: "Sang Guru menunjukkan favorit dalam hal ini, dengan menunjukkan kedudukan bagi Aggasavaka, seharusnya Beliau memberikan kedudukan itu kepada para bhikkhu yang ditahbiskan lebih dahulu, seperti Pancavaggiya. Bila Beliau tidak memperhatikan hak mereka itu, Beliau seharusnya memberikan kepada Yasa Thera dan ke limapuluh empat temannya. Bila bukan kepada mereka pula, maka sebaiknya memberikan kepada tigapuluh pemuda, Bila tidak kepada mereka pula, sebaiknya diberikan kepada tiga bersaudara Uruvela Kassapa, Nadi Kassapa dan Gaya Kassapa. Dengan menolak kesempatan bagi semua bhikkhu bhikkhu yang diupasampadakan lebih dahulu tersebut untuk didudukkan sebagai Aggasavaka, maka Sang Guru telah membeda-bedakan.
Sang Guru berkata : "O, bhikkhu, apakah yang menjadi pokok pembicaraan kamu ?"
Mereka menceriterakannya, lalu Beliau berkata : O, bhikkhu, Saya tidak menunjukkan favorit dalam menunjukkan kedudukan itu. Tetapi sesungguhnya saya memberikan kepada mereka dan bhikkhu yang lain, apa yang sesuai dengan tekad (aditthana) mereka masing-masing. Karena Añña-kondañña telah memberikan buah-buah pertama dari panen tertentu sampai sembilan kali, tetapi walaupun telah berbuat begitu ia tidak membuat Additthana untuk menjadi Aggasavaka. Dan selagi memberikan dana ia bertekad agar supaya menjadi orang pertama mencapai tingkat tertinggi seperti Arahat dari orang yang lain."
"Kapankah hal ini terjadi, Bhante ?"
"Dengarlah, bhikkhu."
"Ya,  Bhante."
Selanjutnya Tathagata menceriterakan hal berikut ini :

Ceritera Yang lampau :
C. Culla  Kala dan Maha Kala.

"O, para bhikkhu pada sernbilanpuluh satu kappa yang lampau, telah muncul di dunia ini Buddha Vipassī Pada masa itu, dua bersaudara Culla Kala dan Maha Kala hidup sebagai petani di ladang mereka yang sangat luas. Pada suatu hari Culla Kala berkebun, menumbuk Sali (padi?) setelah itu memakannya, dan ia merasakan suatu rasa manis yang luar biasa. Segera ia mempunyai keinginan untuk memberikan dana Sali (mentah) kepada Sangha yang di pimpin oieh Buddha. Demikianlah ia mendapatkan kakaknya dan berkata : "Kakak, marilah kita menumbuk Sali, menyiapkannya dengan baik, yang pantas bagi Buddha dan mendanakannya."
"Apa yang kau katakan adikku? Tak pernah seorangpun yang mendanakan Sali mentah (untuk langsung dimakan), tak seorangpun yang akan berbuat demikian pada masa yang akan datang pula, jangan merusak panen !"
Culla Kala mengulangi maksudnya beberapa kali. Akhirnya Maha Kala berkata   :   "Baiklah,  bagi  dua ladang itu, dan jangan menyentuh  bagianku."
"Bagus sekali," kata Culla Kala. la membagi ladang menjadi dua bagian, lalu memperkerjakan banyak orang, Sali di tumbuk dijadikan beras (?) kemudian dimasak dengan susu dicampur dengan madu dan gula, setelah itu ia men-dana-kannya kepada para Bhikkhu Sangha yang di pimpin oleh Sang Buddha. Setelah para bhikkhu Sangha selesai makan, ia berkata : "Bhante, berdasarkan pada jasa pemberian dana ini, semoga saya mendahului orang lain mencapai kesucian arahatta."
"Sadhu", kata Sang  Buddha sebagai Anumodana.
Ketika ia pergi ke ladangnya, ia melihat ladangnya telah ditumbuhi oleh Sali baru lagi, teratur berberkas-berkas seperti tanaman yang lalu. Ketika melihat hal ini ia merasakan lima macam kebahagiaan. la berpikir: "Saya sungguh beruntung sekali."Dan ketika Sali telah berbulir, ia memberikan bulir-bulir itu sebagai panen pertama kepada orang-orang kampung. Ketika Sali telah matang, ia memberikan Sali matang pertama kepada orang-orang kampung pula. Ketika serumpun Sali telah matang, ia memberikan itu pula. Ketika sebagian kelompok yang lebih besar telah matang, ia memberikan itu pula; ketika Sali tersebut ditumbuk, hasil tumbukan pertama ia berikan pula; ketika Sali itu di giling, maka hasil  gilingan  (tepung)  pertama diberikannya pula; ketika tepung mau disimpan, maka simpanan pada gudang pertama diberikannya pula. Jadi ia memberikan setiap hasil pertama, sampai sembilan kali dari satu panen. Apapun yang ia berikan langsung terganti, sehingga ia mendapat panen yang baik dan bagus sekali. Kebaikan akan melindungi orang yang melakukannya. Sehingga Sang Tathagata berkata :
"Sesungguhnya Dhamma melindungi orang yang melaksanakan kebenaran (Dhammacari). Hidup dalam Dhamma membawa kebahagiaan. Bahwa ia yang berjalan sesuai dengan Dhamma tak pernah jatuh kedalam penderitaan. Inilah manfaat bila hidup dalam Dhamma."
Demikianlah, dimasa kehidupan Samma Sambuddha Vipassi, Anna Kondanna yang hidup pada waktu itu sebagai Culla Kala memberikan dana dari setiap hasil pertama setiap panen sampai sembilan kali, dan membuat Aditthana atau tekad untuk menjadi orang pertama mencapai ke Arahattan. Begitu pula di masa Buddha Padumuttara.seratusribu kappa yang lalu, di kota Hamsavati, ia memberikan banyak dana dan berlutut di kaki Sang Buddha dengan Aditthana untuk menjadi orang pertama mencapai ke Arahattan. Jadi saya memberikan padanya hanya apa yang sesuai dengan Aditthananya. Saya tidak melakukan pembedaan didalam menunjukkan kedudukan."

Ceritera yang lampau :
d .     Yasa dan limapuluh empat kawannya.

"Bhante, perbuatan jasa apakah yang dibuat oleh ke limapuluhlima pemuda yang dipimpin oleh Yasa ?"
Mereka membuat aditthana untuk menjadi Arahat dikaki seorang Buddha dan melakukan banyak perbuatan-perbuatan baik. Karena sebelum Buddha Gotama muncul didunia ini, Mereka telah bersahabat, mereka bersatu dan bersama-sama melakukan perbuatan-perbuatan baik, bekerja sukarela untuk mengurus jenasah-jenasah orang miskin.
Pada suatu hari mereka menemukan jenasah seorang wanita hamil, membawa mayat tersebut ke tempat pembakaran mayat ( krematorium ) untuk di perabukan, Yasa dan empat kawannya mendapat tugas untuk memperabukannya, sedang teman yang lain kembali ke kampung.
Ketika Yasa sedang membakar mayat tersebut, menusuknya dengan tongkat serta membalik-balikkannya. ia berpikir dan menyadari akan Asubhasanna (ia ingat tentang hal yang menjijikkan). Dengan pikiran ini ia memberitahukannya kepada kawannya dengan berkata : "Kawan-kawan, perhatikanlah tubuh ini. Disana sini kulitnya terbakar dan pecah-pecah, itu menunjukkan sesuatu yang tidak berbeda dengan warna kulit sapi, kotor, bau dan memuakkan." Segera teman-temannya mempunyai pikiran tentang Asubhasanna. Sesudah kembali di kampung, ke lima teman ini menceriterakan hal tersebut pada kawan-kawan yang lain pula. Sedangkan bagi Yasa, setelah tiba di rumah ia memberitahukan hal tersebut kepada ayah, ibu serta isterinya, dan mereka semua mengembangkan 'Asubhasanna' dalam pikiran mereka. Inilah perbuatan jasa yang telah mereka lakukan pada kehidupan yang lampau, dan karena perbuatan jasa ini, maka Asubhasanna muncul pada Yasa sewaktu berada di ruangan wanita. Dan karena mereka telah mempunyai kemampuan untuk hal tersebut, maka mereka semua mengembangkannya dan mencapai Visesadhigamo ( Arahatta ). Demikianlah mereka mencapai dan mendapat apa yang sesuai dengan Aditthana (tekad) yang mereka buat. Saya tidak melakukan perbedaan dalam menunjuk posisi tersebut."

Ceritera yang lampau :
e.    Tigapuluh Pemuda.

"Bhante, perbuatan jasa apakah yang dilakukan oleh tigapuluh pemuda?" "Mereka juga melakukan Aditthana di kaki Buddha-Buddha yang telah lampau dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik. Demikianlah sebelum Buddha Gotama muncul di dunia ini, mereka telah lahir dan menjadi penjahat, tetapi setelah mendengar nasehat-nasehat yang diberikan pada Tundila lalu mereka melaksanakan Pancasila selama enampuluh ribu tahun. Demikianlah mereka mencapai apa yang sesuai dengan Aditthana yang dilakukan. Saya tidak melakukan perbedaan dalam menunjukkan posisi tersebut."

Ceritera yang lampau :
f. Tiga Kassapa Bersaudara.

"Bhante, apakah perbuatan baik yang dilakukan oleh ke tiga Kassapa bersaudara, Uruvela-Kassapa, Nadi-Kassapa   dan Gaya-Kassapa?"
"Mereka juga melakukan perbuatan-perbuatan baik, dan melakukan Aditthana untuk menjadi arahat. Sembilanpuluh kappa yang lampau telah muncul dua Samma Sambuddha Tissa dan Phussa; ayah Phussa adalah Raja Mahinda. Ketika Phussa mencapai ke Buddhaan, putera bungsu menjadi Aggasavakanya, dan anak dari Purohita (guru agarha kerajaan) menjadi Aggasavaka kedua. Raja menemui Sang Buddha dan berkata : "Anakku yang sulung adalah Buddha, anakku yang bungsu adalah Aggasavaka, dan anak Purohita-ku adalah Aggasavaka kedua. Sambil melihat mereka bertiga ia berkata: "Buddha, Dhamma dan Sangha adalah milikku sendiri." Dan tiga kali ia mengucapkan Vandana : " Namo Tassa Bhagavato Arahatto Samma Sambuddhassa. " Kemudian bernamaskara kepada Sang Buddha dan berkata : " "Bhante, sekarang, pada kehidupan yang lamanya sembilanpuluh ribu tahun, adalah waktu, demikian pula bagi saya untuk duduk dan tidur (hidup). Selama saya masih hidup, saya mohon supaya janganlah mencari dana ditempat lain, tetapi terimalah empat kebutuhan (catu paccaya) pokok dari saya." Setelah menerima persetujuan dari Sang Buddha, maka selanjutnya Raja melayaniNya terus.
Pada waktu itu. Raja masih mempunyai tiga orang anak (pangeran) yang tua dari mereka mempunyai pengikut limaratus tentara, yang tengah mempunyai tigaratus tentara, sedangkan yang bungsu mempunyai duaratus tentara. Pada suatu hari mereka meminta ijin kepada raja (ayah) untuk melayani kakak mereka, Buddha Phussa, tetapi gagal, dan hal ini terjadi beberapa kali. Tak lama kemudian terjadi pemberontakan di perbatasan negara, mereka dikirim untuk memulihkan keamanan. Setelah menyelesaikan tugas diperbatasan, mereka kembali kepada ayah mereka. Raja memeluk dan mencium kepala mereka dan berkata : "Pahlawan-pahlawanku, saya akan memberikan apa yang kamu inginkan."
"Baik sekali, ayah," jawab mereka menerima pemberian kesempatan itu. Beberapa hari kemudian, ayah mereka berkata pula : "Pahlawan-pahlawanku, saya memberikan apa yang kamu inginkan.
Lalu jawab mereka : "Raja, tidak ada keinginan lain dari kami selain hanya satu, yaitu untuk seterusnya kami melayani kakak kami, berikanlah kesempatan ini kepada kami.
"Saya tidak akan mengabulkan permintaan ini, anak-anakku."
"Bila Baginda tidak mau mengabulkan permintaan ini secara permanen, maka ijinkanlah pada kami untuk melakukan hal tersebut selama tujuh tahun."
"Itupun tak kukabulkan anak-anakku."
"Baiklah, ijinkanlah kami untuk melakukan hal tersebut selama, enam, lima, empat, tiga, dua, satu tahun atau untuk tujuh, enam, lima, empat atau tiga bulan saja."
"Saya tidak mengabulkannya anak-anakku."
"Baiklah kalu begitu Baginda, ijinkanlah setiap orang hanya satu bulan saja melakukan pelayanan tersebut, kabulkanlah permohonan kesempatan ini pada kami bertiga selama tiga bulan."
"Baiklah anak-anakku, layanilah kakak kamu selama tiga bulan."
Ketiga bersaudara tersebut masing-masing mempunyai seorang bendahara dan seorang pembantu, pembantu ini mempunyai duabelas nahuta pelayan sebagai pengikut. Mereka bertiga memanggil bendahara dan pembantu serta berkata : "Selama tiga bulan mendatang ini kami akan melakukan sepuluh sila (Dasaslla) dengan berjubah kuning dan tinggal bersama-sama dengan Guru (Buddha). Selama kami tidak ada, kamu bertugas melakukan pemberian dana; setiap hari menyediakan makanan lembut dan keras untuk sembilanpuluh ribu bhikkhu, dan seribu tentara. Sejak itu kami tidak akan meminta apa-apa." Demikianlah tiga bersaudara bersama seribu pengikut mereka melaksanakan sepuluh sila  (dasasila) dengan berjubah  kuning dan  mulai berdiam di vihara.
Bendahara dan Pembantu bekerja sama melakukan tugas berdana berganti ganti, dengan mengambil bahan-bahan makanan dari gudang-gudang ke tiga bersaudara tersebut, dan memberikan dana kepada mereka. Tetapi anak-anak dari para pelayan menangis meminta bubur dana makanan lainnya, maka Bendahara dan Pembantu memberikan apa yang mereka butuhkan, walaupun bhikkhu Sangha belum tiba. Akibatnya bhikkhu Sangha hanya menerima makanan-makanan sisa dan tidak mendapat makanan segar sama sekali. Akhirnya Bendahara dan Pembantu menjadi amat rakus, mereka berpura-pura akan memberikan makanan kepada anak - anak, tetapi mereka sendirilah yang memakannya. Bila melihat makanan enak-enak, mereka tidak tahan lagi. Maka mereka berdua serta kawan-kawan lainnya sebanyak delapanpuluh empat orang makan makanan yang disediakan sebenarnya untuk para bhikkhu Sangha, maka akibatnya setelah mereka meninggal dunia, mereka punabhava menjadi peta (a.l. setan kelaparan).
Ketika ke tiga bersaudara dan seribu pengikut mereka meninggal mereka punabhava di alam Suggati (Deva), dan selama sembilanpuluh dua kappa mereka berlalu dari satu alam ke alam yang lain. Demikianlah ke tiga bersaudara melakukan perbuatan jasa (kebajikan) dengan Aditthana untuk menjadi Arahat pada waktu itu. Saya tidak melakukan perbedaan dalam penunjukkan posisi tersebut.
(Pada waktu itu, Pembantu mereka adalah Bimbisara, Bendahara adalah upasaka Visakha, dan ke tiga pangeran bersaudara adalah ke tiga Kassapa bersaudara. Sedangkan pelayan-pelayan mereka pada waktu itu, punabhava menjadi peta, dan setelah berlalu dari alam tersebut ke alam yang baik maupun buruk, pada masa kappa sekarang ini telah punabbhava (lahir kembali) di alam Peta selama masa adanya empat Buddha. Pada masa Kappa ini, pertama-tama mereka mendatangi Buddha Kakusandha, yang masa hidupnya adalah empatpuluhribu tahun lamanya, dan bertanya padaNya: "Mohon beritahukan kepada kami, kapankah kami dapat makanan."
JawabNya : "Kamu tidak akan mendapat makanan pada masa ini, tetapi setelah masaKu, pada waktu bumi ini telah menonjol satu yojana maka Buddha Konagamana akan muncul, sebaiknya kamu bertanya kepadaNya." Selama itu mereka menunggu, dan ketika Buddha Konagamana muncul, mereka bertanya kepadaNya, tetapi JawabNya adalah 'kamu takkan mendapatkan makanan pada masa Saya tetapi setelah masaKu bumi akan menonjol (muncul) setinggi satu yojana, dan Buddha Kassapa akan muncul, sebaiknya kamu bertanya kepadaNya,! Maka selama itu mereka menunggu, ketika Buddha Kassapa muncul mereka bertanya kepadaNya,: dan Beliau menjawab, " kamu tidak akan mendapat makanan dimasaKu, tetapi setelah masaKu bumi akan menonjol satu yojana, dan Buddha Gotama akan muncul, dan pada waktu itu saudara kamu Bimbisara akan menjadi raja, ia akan berdana kepada Sang Buddha dan akan memindahkan jasa-jasanya kepada kamu, dan pada waktu itulah kamu akan mendapat sesuatu untuk dimakan.
Selama masa antara dua Buddha, bagi mereka itu adalah hanya sehari saja. Ketika Tathagata muncul di dunia dan pada hari pertama Raja Bimbisara memberikan dana, mereka gagal mendapatkan buah jasanya, mereka menunggu sampai malam, lalu mereka membuat keributan dengan suara menakutkan dan menunjukkan diri mereka pada raja. Pada keesokan harinya Raja Bimbisara pergi ke Veluvana menceriterakan kejadian tersebut kepada Tathagata.
Jawab Sang Guru: "Maha raja, sembilanpuluh dua kappa yang lampau, dimasa Buddha Phussa, peta-peta tersebut adalah saudaramu. Mereka makan makanan yang merupakan kewajiban mereka untuk memberikannya kepada bhikkhu Sangha karena itulah mereka terlahir di alam Peta. Didalam masa kehidupan mereka telah bertanya kepada Buddha Kakusandha, Konagamana dan Kassapa, kapankah mereka akan mendapat makanan, dan Buddha-Buddha menjawab seperti diatas. Selama ini mereka sangat membutuhkan danamu, dan mengapa mereka berbuat demikian semalam ini disebabkan karena ketika Anda memberikan dana, mereka gagal mendapat jasamu."
"Tetapi, Bhante, bila saya berdana sekarang, apakah mereka dapat menerima hasilnya ?"
"Ya, maha raja."
Pada keesokan harinya Raja mengundang bhikkhu Sangha dan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, memberikan dana yang banyak dan berkata : "Bhante, semoga sejak saat ini makanan-minuman devata menjadi bagian dari peta-peta tersebut." Dan ketika ia memindahkan jasa-jasanya kepada para peta, mereka mendapat makanan dan minuman. Pada hari berikutnya mereka menunjukkan diri dalam keadaan yang tidak berpakaian. Raja berkata kepada Sang Buddha: "Bhante, hari ini, para peta terlihat tidak berpakaian," dan menanyakan apa yang harus dilakukan."
Jawab Sang Guru : "Maha Raja, anda tidak memberikan pakaian kepada mereka."
Demikianlah pada hari berikutnya Raja mendanakan civara-ciivara (jubah-jubah) kepada para bhikkhu Sangha dengan Sang Buddha sebagai pemimpinnya, dengan berkata : "Semoga sejak hari ini mereka mendapat pakaian mereka." Ketika Raja telah berbuat demikian dengan memindahkan jasa-jasa kepada mereka, segera para peta mendapat pakaian. Selanjutnya mereka lenyap dalam  bentuk  peta dan  muncul sebagai devata.  Ketika Sang Buddha menyampaikan Anumodana beliau berkata : "Tirokuddesu titthan' ti …....................... (Tanpa pemisah mereka berdiri ........................... dst), mengucapkan Tirokuddanumodana. Pada akhir dari kata-kata AnumodanaNya, delapanpuluh empat ribu mahluk yakin pada Dhamma (jadi umat). Demikianlah Sang Buddha membabarkan Dhamma, menguraikan ceritera yang berkenaan dengan ke tiga bersaudara Tebhatikajatila (petapa berkonde) Kassapa.

Ceritera yang lampau :
g.   S a r a d a   dan     Sirivaddha.

"Bhante, apakah perbuatan baik yang dilakukan oleh kedua Aggasavaka,".
"Mereka ber-aditthana untuk menjadi Aggasavaka. Pada satu Asankheyya kappa seratus ribu kappa yang lampau, Sariputta telah terlahir sebagai anak seorang Brahmana yang kaya raya dengan nama Sarada Manavo (Pangeran Sarada). Moggallana terlahir dengan nama Sirivaddha, anak dari keluarga yang kaya  raya  juga.   Mereka  telah   bersahabat  sejak   mereka masih  kanak-kanak.
Setelah ayahnya meninggal dunia, maka harta pusaka warisan orang tua menjadi milik Sarada. Pada suatu hari ketika ia sendirian, ia berpikir : "Saya hanya mengetahui kehidupan dalam dunia ini, tetapi saya tidak mengetahui kehidupan sesudah mati. Semua yang lahir pasti mati. Sebaiknya saya meninggalkan kehidupan duniawi menjadi petapa untuk mencari jalan pembebasan," selanjutnya ia menemui temannya dan berkata : Kawan Sirivaddha saya berkeinginan untuk menjadi petapa guna mencari Jalan Pembebasan. Dapat atau tidakkah kau meninggalkan kehidupan duniawi bersamaku ?"
"Bagi saya adalah tidak mungkin, kau sendirilah yang pabbaja, kawan."
Sarada berpikir: "Belum pernah seorangpun pergi ke alam lain bersama dengan keluarga atau teman, melainkan orang itu harus melakukannya sendiri.
Selanjutnya ia membuka gudang hartanya besar-besar dan membagikannya kepada orang-orang miskin, pengemis dan pengkelana. Sesudah melakukan hal tersebut, ia masuk hutan, dan hidup sebagai petapa di kaki sebuah gunung. Pertama-tama hanya satu, kemudian dua, dan selanjutnya banyak sekali yang mengikuti jejaknya menjadi petapa. Akhirnya semua pengikutnya berjumlah tujuhpuluh empat ribu petapa jatila (berkonde). Sarada mencapai Delapan Pencapaian tertinggi dan memiliki Panca Abhiñña, dan mengajar petapa-petapa Jatila untuk mencapai pencapaian tertinggi. Mereka semua mencapai Delapan Pencapaian Tertinggi (ini berhubungan dengan Jhana-jhana).
Pada waktu itu Buddha Anomadassi muncul di dunia. Di kota Candavati, ayahNya adalah seorang Khattiya bernama Yasavanta, ibuNya bernama Yasodhara. Pohon dimana beliau mencapai kesempurnaan adalah pohon Ajjuna. Nisabha dan Anoma adalah AggasavakaNya; Varuna adalah pembantuNya, sedangkan    Sundara dan    Sumana adalah upasaka-upasaka yang ternama. Masa hidupnya adalah seratusribu tahun, tinggi tubuhNya adalah limapuluh delapan Hatthubbedha, sinar tubuhnya sampai duabelas Yojana, mempunyai pengikut sebanyak seratus ribu bhikkhu. Pada suatu pagi Beliau bangun dari samadhi Mahakaruna, melihat dunia ini dan petapa Sarada terlihat. Kemudian Beliau menyadari bahwa : "Hari ini, karena Saya bertemu dengan Sarada, maka akan ada Maha Dhamma Desana. Sarada akan ber-aditthana untuk menjadi Aggasavaika, dan kawannya Sirivaddha akan beraditthana menjadi Aggasavaka kedua. Diakhir dari Dhamma Desana, tujuhpuluh empat ribu petapa Jatila yang merupakan pengikutnya, semua menjadi Arahat. Maka Saya akan ke sana. Segera Beliau mengambil patta dan civara tanpa mengatakan kepada siapapun ia pergi dengan tenang bagaikan harimau, la berkata: "Biarlah Sarada tahu bahwa Saya adalah Buddha." Dan ketika murid-murid Sarada tidak ada karena pergi mencari buah-buahan, Beliau turun dari angkasa dan menginjakkan kakinya di depan Sarada. Ketika petapa Sarada melihat kemampuan Buddha dan kesempurnaan tubuhNya, ia merenungkan tentang gatha yang berisikan ciri-ciri orang besar. Kemudian ia berguman sendiri : "Orang yang mempunyai ciri-ciri begini, bila ia hidup sebagai manusia biasa maka ia adalah 'Raja Cakkavala (Raja Dunia). Bila hidup sebagai petapa, maka la adalah orang yang telah melenyapkan kekotoran batin, seorang Buddha. Tanpa diragukan lagi Beliau adalah Buddha." Selanjutnya Sarada menemuiNya, memberikan hormat dengan bernamaskara, menyediakan tempat duduk dan mempersilahkan Beliau duduk. Sang Buddha duduk ditempat yang telah disediakan, sedangkan petapa Sarada duduk disalah Satu tempat yang sesuai untuknya disalah satu sisi, dengan tertibnya. Tak lama kemudian tujuhpuluh empat ribu petapa Jatila yang pergi mencari buah-buahan kembali. Ketika mereka melihat Sang Buddha duduk di dekat Guru mereka, mereka berkata : "Guru kami sering berpikir bahwa tidak ada orang yang lebih mulia dari padanya, tetapi untuk orang ini kami yakin ia lebih mulia dari guru."
"Apakah yang kamu katakan ? Apakah kamu mau membandingkan sebiji lada dengan gunung Sineru yang tingginya enampuluh delapanribu Yojana? Anak-anakku jangan membandingkan saya dengan Samma Sambuddha."
Lalu mereka berpikir : "la ini adalah orang yang sangat penting sekali, guru kita tidak akan membandingkan sampai demikian kalau tidak ! Betapa besar dan mulianya orang ini !" Selanjutnya mereka menjatuhkan diri di depan kakiNya dan menghormati beliau dengan bernamaskara. Kemudian guru mereka berkata : "Kawan-kawan, disini kita mempunyai sesuatu yang patut diberikan kepada  Buddha, dan  Beliau telah datang  pada saat biasanya kita pindapata; marilah kita berikan apa yang dapat kita berikan. Ambil semua buah-buahan yang bagus." Setelah menyuruh membawa buah-buahan tersebut, ia mencucinya sendiri dan memasukkan buah-buahan itu ke dalam patta Sang Buddha. Pada saat Sang Buddha menyentuh buah-buahan tersebut, para devata memberikan rasa enak pada buah-buahan itu. Petapa Sarada juga menyaring air dan memberikannya kepada Beliau. Setelah selesai makan, dan Beliau duduk dengan tenang, Sarada memanggil murid-muridnya duduk, lalu bercakap-cakap dengan Guru.
Sang Buddha berpikir : "Sebaiknya kedua Aggasavaka datang bersama bhikkhu Sangha. Segera kedua bhikkhu (Aggasavaka) dan seratus ribu arahat pengikut mereka datang, menghormat Beliau dan duduk pada salah satu sisi dengan hormatnya.
Kemudian Sarada berkata kepada murid-muridnya : "Kawan-kawan, tempat yang diduduki oleh Sang Buddha adalah rendah, juga tidak ada tempat duduk untuk seratusribu bhikkhu. Hari ini kamu harus memberikan hormat tertinggi kepada Sang Buddha. Carilah bunga-bunga yang berwarna bagus-bagus dan harum dari gunung."
Dikatakan bahwa waktu untuk bicara tidak ada, tidak terpikirkan kemampuan batin ia yang mempunyai kekuatan iddhi,' demikian pula dalam hal ini. Tidak berapa lama para petapa kembali membawa bunga-bungaan yang bagus dan harum, mereka membuat tempat duduk yang panjangnya satu Yojana untuk Sang Buddha, juga tempat duduk bagi kedua Aggasavaka sepanjang tiga gavuta, sedangkan para bhikkhu yang lain panjangnya hanya setengah Yojana atau kurang, dan untuk bhikkhu-bhikkhu baru sepanjang satu Usabha. Adalah tidak perlu untuk menanyakan "Bagaimana mereka mengatur tempat duduk yang besar ukurannya itu dalam pertapaan ini?" Ini semua dapat mereka lakukan karena adanya kekuatan Iddhi (batin). Ketika tempat-tempat duduk telah disiapkan, petapa Sarada berdiri di depan Sang Buddha, dan dengan beranjali berkata : "Bhante, duduklah diatas tempat duduk dari bunga ini, dan semoga umur panjang, kebahagiaan dan kesentosaan ada pada kami."
"la mengumpulkan bermacam-macam bunga yang harum semerbak membuat   sebuah  tempat  duduk  dari   bunga-bungaan  dan   mengatakan kata-kata ini :
"Wahai pahlawan, saya telah menyediakan tempat duduk yang sesuai bagiMu.
Duduklah diatas tempat duduk dari bunga-bungaan ini,
sebagai bukti hatiku yang ikhlas,
Selama tujuh hari tujuh malam Sang Buddha duduk diatas tempat duduk dari
bunga-bungaan ku, sebagai bukti hatiku yang ikhlas serta menyenangkan
para dewata dan manusia."
Selagi Sang Buddha duduk, kedua Aggasavaka dan bhikkhu-bhikkhu lainnya duduk ditempat yang telah disediakan bagi mereka. Petapa Sarada mengambil payung bunga yang besar, memayungi Sang Buddha.
Sang Buddha berkata: "Sernoga penghormatan yang ditunjukkan oleh petapa Jatila ini menghasilkan buah yang banyak."
Setelah mengetahui Sang Buddha telah mencapai Niroddha Samapatti, kedua Aggasavaka juga bersamadhi dan mencapai Nirodha Sammapatti.
Selama tujuh hari Sang Buddha duduk demikian, menikmati kebahagiaan Nirodha Sammapatti. Ketika telah waktunya untuk makan, murid-murid Sarada masuk ke dalam hutan dan memakan buah-buahan hutan. Dan waktu-waktu selanjutnya mereka berdiri beranjali didepan Sang Buddha. Sedangkan petapa Sarada tidak pergi mencari makan tetapi selama tujuh hari berturut-turut memegang payung memayungi Sang Buddha, dan ia merasakan kegembiraan dan kesenangan.
Setelah Sang Buddha selesai dengan Samadhi, la berkata kepada AggasavakaNya Nisabha yang duduk disebelah kananNya: "Nisabha, ucapkan anumodana (rasa terima-kasih) kepada petapa yang telah menghormati kita dengan bunga-bungaan dan tempat duduk."
Demikianlah Nisabha Thera, bagaikan pahlawan besar yang baru menerima penghargaan dari Raja Cakkavati, dan dengan hati gembira menunjukkan parami (Savaka parammana) pengetahuan, mulai menyampaikan anumodana untuk bunga-bungaan dan tempat duduk.
Pada akhir khotbah. Sang Buddha berkata kepada Aggasavaka kedua sebagai berikut: Kau juga memberikan Dhamma desana kepada para bhikkhu."
Selanjutnya Anoma Thera, menguraikan Tipitaka, kata-kata Sang Buddha (Buddhavacanam), mengajar Dhamma. Tetapi walaupun kedua Aggasavaka telah memberikan Dhamma, tak seorang petapapun yang menembus, mengerti akan Dhamma.
Kemudian, Sang Guru yang mempunyai kemampuan Buddha yang tanpa batas, mulai membabarkan Dhamma, dan pada akhir khotbahNya menghasilkan tujuhpuluh empat ribu petapa Jatila semuanya menjadi Arahat, kecuali petapa Sarada sendiri. Lalu Sang Buddha meluruskan tanganNya dan berkata: "Ehi bhikkhu." Segera rambut dan janggut mereka lenyap dan Delapan kebutuhan bhikkhu telah tersedia semua.
(Mungkin   ditanyakan   mengapa  petapa  Sarada  tidak  menjadi  Arahat?)
(Ini terjadi  karena pikirannya kacau. Dikatakan bahwa ketika ia duduk ditempat duduk Aggasavaka kedua, dan sementara Aggasavaka pertama sedang membabarkan Dhamma, ia mulai mendengarkan Dhamma-desana tersebut, lalu pikiran ini muncuk "Pada suatu hari kelak, pada waktu masanya seorang Buddha muncul saya dapat menerima beban yang telah diterima oleh bhikkhu ini!" Karena pikiran inilah, dikatakan bahwa ia tak mencapai magga dan Phala.")
Setelah itu Sarada menghormat Tathagata, berdiri didepannya dan berkata: "Bhante Apakah posisi dalam sasana Mu bagi bhikkhu yang duduk didekatMu?"
"la adalah pengikutku dalam pemutaran roda Dhamma yang saya babarkan; ia telah mencapai pencapaian tertinggi, dengan pengetahuan sempurna bagi seorang murid (savaka), ia telah memiliki "enambelas pengetahuan (solasapanna) dalam sasana (agama) Ku ia dinamakan Aggasavaka."
"Bhante, disini selama tujuh hari saya berdiri dengan memayungkan payung bunga kepadaMu, saya tidak mau ber-punabhava sebagai Sakka maupun Brahma. Tetapi pada suatu waktu kelak, sernoga saya menjadi Aggaslvaka seorang Buddha seperti Nisabha Thera ini."
Selesai Sarada melakukan aditthana ini, Sang Buddha merenungkannya; "Apakah keinginannya akan tercapai?" selanjutnya la merenungkan masa yang kan datang, dan meneliti masa-m'asa tersebut, pikiranNya menjangkau sampai satu Asankheyya Kappa dan seratusribu kappa akan datang, lalu ia mendapatkan bahwa keinginannya tercapai, lalu la berkata kepada petapa Sarada: "Aditthanamu ini tidak sia-sia, nanti pada akhir dari satu masa asankheyya kappa dan seratusribu kappa yang akan datang, Buddha Gotama akan muncui dalam dunia.
IbuNya adalah Maha Maya, AyahNya Suddhodana, puteraNya Rahula, pembantuNya Ananda dan AggasavakaNya yang kedua adalah Mogallana dan kau sendiri menjadi Aggasavaka Pertama, Dhammasenapati, dan namamu adalah Sariputta." Setelah menyatakan tentang masa depan dari petapa Sarada, Beliau membabarkan Dhamma, sesudah itu beliau bersama para bhikkhu lain pergi dengan melayang ke angkasa. Petapa Sarada menemui para Thera dan antevasika (murid) serta mohon memberitahukan kepada temannya Sirivaddha dengan berkata: "Bhante, tolong katakan pada kawanku bahwa 'kawanmu petapa Sarada telah menjatuhkan dirinya dikaki Sang Buddha Anomadassã dan beraditthana untuk menjadi Aggasavaka Pertama dimasa Buddha Gotama yang akan muncui kelak dikemudian hari.. Sebaiknya kamu beraditthana untuk menjadi Aggasavaka Kedua." Setelah berkata demikian ia pergi mendahului para Thera dengan mengambil arah yang berlainan dan berdiri didepan pintu rumah Sirivaddha.
Ketika Sirivaddha melihatnya lalu  ia berkata:   "Akhirnya, setelah lama tidak bertemu, kawanku yang mulia telah kembali." Segera ia mempersilahkan kawannya   duduk,   dan   ia   sendiri   duduk   ditempat yang lebih  rendah, dan bertanya kepadanya :"Tetapi, bukankah kau mempunyai murid?"
'Ya, kawanku, Buddha Anomadassi dating ke pertapaanku, dan kami memberikan   normat semampu Kami, sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada kami semua,dan semua pengikut-pengikutku kecuali saya sendiri menjadi Arahat dan ditahbiskan menjadi bhikkhu. Ketika saya melihat Aggasavaka Sang Buddha, yaitu Nisabha Thera, saya ber-aditthana menjadi Aggasavaka di masa Buddha Gotama yang akan muncul di dunia nanti. Kau dapat beraditthana untuk menjadi Aggasavaka yang kedua pada masa Buddha Gotama tersebut."
'Tetapi saya tidak mengenal Sang Buddha."
"Saya akan menghubungi Sang Buddha, kau menyiapkan keputusanmu."
Ketika Sirivaddha mendengar kata-katanya, ia menghias bagian depan rumahnya seluas delapan Kansa seperti untuk menghormati raja^enaburkan pasir juga dengan lima macam bunga, termasuk bunga laja, membuat paviliun dengan beratapkan teratai biru, menyiapkan tempat duduk untuk Sang Buddha dan para bhikkhu. Menyiapkan banyak dana-dana, dan meminta petapa Sarada mengundang Sang Buddha dan bhikkhu Sangha ketempatnya. Sirivaddha datang menemui mereka, mengambil patta dari tangan Sang Buddha, mengantar mereka kedalam paviliun, dan menyilahkan Sang Buddha serta para bhikkhu duduk ditempat yang telah disediakan, memberikan Dakkhinodakarn (air dana), setelah itu menyuguhkan makanan-makanan terpilih. Sehabis makan ia memberikan civara-civara (jubah) yang bagus kepada Sangha dan berkata kepada Sang Buddha: "Bhante, semua ini dilakukan bukan untuk hal-hal yang sia-sia saja, tetapi saya mengharapkan sudilah Bhante berada ditempat ini untuk selama tujuh hari lamanya." Sang Buddha menyetujuinya. Selama tujuh hari Sirivaddha memberikan banyak dana. Pada akhir pemberian dananya ia menghormat Sang Buddha berdiri dengan beranjali dan berkata: "Bhante, kawanku Sarada ber-aditthana untuk menjadi Aggasavaka seorang Buddha kelak, semoga saya menjadi Aggasivaka kedua pada Buddha yang sama."
Sang Buddha melihat masa yang akan datang, dan mengetahui bahwa aditthananya akan terpenuhi dan berkata:: "Pada akhir dari satu asankheyya kappa dan seratusribu kappa yang akan datang, kau akan menjadi Aggasavaka Kedua dari Buddha Gfetama. Setelah mendengar pernyataan ini, Sirivaddha merasa gembira sekali dan puas. Sang Buddha mengucapkan anumodana untuk dana makanan dan jubah, setelah itu kembali ke Vihara bersama-sama para bhikkhu.
O, bhikkhu, inilah aditthana yang dibuat oleh anak-anakku di masa yang silam. Mereka mendapat apa yang mereka inginkan sesuai dengan aditthananya. Jadi bila saya menunjukkan kedudukan, itu bukan karena melakukan perbedaan.
(Demikianlah ceritera yang lampau .)
Setelah Sang Buddha selesai berceritera, kedua Aggasavaka menghormat Beliau dan berkata :"Bhante, ketika kami masih sebagai orang awam, kami pergi menonton perayaan Giraggasamajja"; lalu menceriterakan semua kejadian yang berlangsung seperti diatas sampai mereka menjadi Sotapanna karena bimbingan Thera Assaji. Kemudian mereka berkata: "Bhante, kami mempunyai guru, dengan tujuan supaya iamengikutiMu.dan dengan menunjukkan pandangan salah yang dimilikinya, agar supaya ia mendapat kemajuan bersamaMu, tetapi ia berkata pada kami :"Bagi saya untuk menjadi murid lagi adalah tidak mungkin bagaikan menimba air dengan keranjang. Saya tidak dapat hidup sebagai murid lagi.' Kami menjawab: 'Guru, orang-orang sekarang ini membawa bunga, dupa dan Iain-Iain pergi menghormat Sang Buddha. Apa yang mau kau buat?' Jawabnya: 'Manakcih yang banyak didunia ini, orang bodoh atau pandai'.Kami menjawab ;  'Guru orang bodoh lebih banyak dari orang pandai.'  Jawabnya : 'Baiklah, orang pandai pergi kepada petapa Gotama dan yang bodoh datang pada saya. Bagi kamu pergilah dimana yang kamu inginkan.' Bhante dengan kata-kata ini ia menolak untuk datang kesini.' "
Setelah Sang Buddha mendengar hal ini beliau berkata :"0, bhikkhu berdasarkan pada pandangan salah yang ia anuti, maka Sanjaya telah memandang salah pada kebenaran, dan benar pada yang salah. Tetapi bagi kamu, berdasarkan pada kebijaksanaan kamu sendiri, telah dapat dengan tepat membedakan apa yang benar dalam kebenaran, dan salah pada bukan-kebenaran, dan kamu dengan bijaksana telah menolak apa yang salah dan menerima apa yang benar." Setelah Beliau berkata demikian, la mengucapkan   gatha berikut ini :

11.               "Mereka yang menganggap benar pada hal yang tidak-benar,
         juga menganggap tidak-benar pada hal yang benar;
        mereka tidak akan pernah mencapai kesuksesan,  
       melainkan tetap berada dalam kekeliruan."

12.               "Mereka yang menganggap benar pada hal yang benar,
        dan tidak menganggap benar pada hal yang tidak benar,  
       mereka akan mencapai kesuksesan,
      dan tetap berada dalam pikiran benar."

(sumber : YAMAKA VAGGA – SYAIR SYAIR KEMBAR  I.