Senin, 06 Juni 2011

Cerita Jataka "CAKKUPALA THERA"

1.    CAKKUPĀLA THERA.

" Segala  keadaan adalah hasil dari pada apa yang telah kita pikirkan
dan dibentuk oleh pikiran kita. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati yang mengikuti jejak kaki lembu yang menariknya. "

Dimanakah ajaran Dhamma ini dibabarkan ?   Di Sãvatthi. Berkenaan dengan siapakah ? Berkenaan dengan CakkhuPāla   Thera.

Tersebutlah di Sãvatthi berdiam seorang upasaka bernama Mahã Suvanna. la adalah seorang kaya raya, mempunyai banyak kesempatan untuk bersenang-senang, tetapi tidak mempunyai anak. Pada suatu hari ketika ia sedang berjalan pulang ke rumahnya dari tempat pemandian dimana ia mandi, ia melihat sebuah pohon besar dan sangat rindang sekali. Lalu pikirnya: "Pohon ini mesti didiami oleh devata pohon ( rukkha – devata ) yang hebat." Demikianlah maka ia membersihkan bagian bawah dari pohon tersebut; membuat pagar disekeliling pohon dan menaburkan pasir didalam lingkaran pagar tersebut. Setelah itu ia memancangkan panji-panji dan berjanji : "Bilamana saya mendapat seorang anak putera atau puteri, saya akan memberikan hormat atau mengadakan pemujaan besar-besaran disini. Setelah mengatakan demikian ia pergi.

Tidak lama kemudian isterinya hamil. Setelah isterinya menyadari bahwa ia hamil, ia memberitahukan hal ini kepada suaminya, lalu suaminya mengadakan upacara untuk keselamatan bayi yang dalam kandungan. Setelah sepuluh bulan (lunar) berlalu, isterinya melahirkan seorang putera. Karena pedagang ini mendapat seorang putera atas perlindungan atau berkah devata pohon, maka ia menamakan anaknya Pāla ( = pelindung ). Setelah beberapa masa kemudian ia mendapat putera kedua. Anak bungsu ini dinamakannya Pelindung Muda ( Culla Pāla ) dan memanggil yang tua dengan nama Mahã Pāla. Ketika mereka telah dewasa, orang tua mengawinkan mereka. Dan tidak lama kemudian orang tua mereka meninggal dunia dengan meninggalkan semua harta kekayaan bagi kedua putera mereka.

Pada masa itu pula, Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma, berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dan pada suatu ketika beliau berdiam di Jetavana Vihara ( vihara ini didirikan oleh pedagang kaya bernama Anāthapindika ). Sewaktu berdiam di Jetavana ini, beliau membimbing banyak orang  ke Jalan untuk mencapai kesenangan  Surga dan orang lain  ke Jalan Kebebasan (Nibbāna ).

Upasaka Anāthapindika dan upasika Visakha biasanya mengunjungi Sang Buddha sebanyak dua kali sehari. Bila mereka mengetahui para Samanera (calon bhikkhu) baru membutuhkan sesuatu, maka mereka selalu membawakannya. Sebelum sarapan mereka mengambil makanan keras dan lunak, memberikan makanan tersebut kepada bhikkhu dan samanera, dan sesudah sarapan mereka mengambil lima macam obat-obatan dan minuman lalu memberikan kepada para bhikkhu maupun samanera pula. Lebih lanjut, didalam rumah mereka tersedia dua ribu tempat duduk yang disediakan untuk para bhikkhu. Bagi siapa yang memerlukan makanan dan minuman atau obat-obatan, ini semua selalu tersedia bagi mereka.

Tetapi tak pernah sekalipun Anāthapindika menanyakan sebuah pertanyaan kepada Sang Buddha. Dikatakan bahwa Anāthapindika tidak ingin menanyakan sebuah pertanyaan pun kepada Sang Buddha, ini disebabkan karena Kāsihnya serta setianya kepada Sang Buddha, la berpikir bahwa, 'Tathāgata adalah Buddha, pangeran yang halus dan lemah-lembut, guru, bila beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya tanyakan maka beliau akan lelah.' Tetapi, pada suatu hari setelah Anāthapindika duduk. Sang Buddha berpikir, ' upasaka ini adalah pembantu saya, pedagang ini melindungi saya walaupun saya tidak perlu dilindungi. Dalam kehidupanku selama empat asankheya kappa dan seratus ribu kappa, yaitu masa yang digunakan untuk menyempurnakan paramita-paramita, rambut Ku telah dicukur, mata Ku telah dikuasai, hati atau batin telah Ku bersihkan, anak dan isteri yang Kucintai telah Ku tinggalkan dengan tujuan untuk mengajarkan Dhamma bagi orang lain. Tetapi orang ini melindungi saya yang tak perlu dilindungi lagi. ' Setelah itu, langsung beliau membabarkan DhammaNya.

Pada waktu itu ada tujuh koti penduduk yang berdiam di Sãvatthi diantaranya lima koti setelah mendengar Dhamma menjadi pengikut Sang Buddha sedangkan yang lain tidak. Para umat mempunyai dua kewajiban, yaitu sebelum sarapan mereka memberikan dana makanan, dan setelah sarapan dengan membawa bunga dan harum-haruman (kayu cendana dan sebagainya) disertai oleh para pembantu mereka membawa obat-obatan dan minuman pergi memuja bhakti dan mendengarkan khotbah Dhamma.

Pada suatu hari Mahã Pāla melihat orang-orang (umat) pergi ke vihara dengan bunga-bungaan dan dupa ditangan, ia bertanya : "Kemanakah anda sekalian akan pergi ?”. "Pergi mendengar Dhamma." "Saya akan pergi juga", jawabnya. Demikianlah ia pergi, memberikan hormat kepada Sang Buddha, dan duduk diantara para umat.

Bilamana Sang Buddha mengajar Dhamma, beliau mengajar dengan melihat kemampuan dan kematangan batin yang berhubungan dengan perlindungan (sarana), pelaksanaan sila, dan pabbajjadina ( meninggalkan keinginan duniawi) dari para pendengarnya. Pada hari itu, sewaktu Sang Buddha sedang mengajarkan Dhamma, beliau melihat perkembangan kemampuan batin Mahã Pāla. Beliau dengan sistimatis mengajarkan Dhamma dari pokok satu ke pokok yang lain, yaitu tentang dana, sila, pencapaian kehidupan surgawi, akibat buruk perbuatan salah dan kotoran batin karena adanya napsu indriya, serta berkah dari pabbajja.

Mahã Pāla mendengar dan berpikir : "Bilamana seseorang meninggal dunia (dan segera terlahir kembali di alam lain atau dunia ini), bukan putera, puteri maupun kekayaan yang dibawanya serta, juga tubuhnyapun tak akan pergi bersamanya. Jadi apa gunanya bagi saya untuk hidup seperti sekarang ini ? Saya mau menjadi bhikkhu." Demikianlah diakhir dari khotbah ia mendekati Sang Buddha dan memohon untuk diterima menjadi anggota Sangha ( bhikkhu ) . Sang Buddha bertanya kepadanya : "Apakah engkau tidak mempunyai keluarga yang wajib untuk dimintai ijin menjadi bhikkhu ? "Ya, ada, mengapa bhante, saya mempunyai adik laki-laki." "Baiklah, mintalah ijin padanya." Setelah mendengar jawaban ini, Mahã Pāla menyetujui dan berkata : "Baiklah". Setelah ia memberikan hormat kepada Sang Buddha ia pulang, "menemui adiknya dan berkata : "Adikku yang baik, apapun kekayaan yang ada dalam rumah ini apakah ia benda hidup atau mati, semuanya saya serahkan kepadamu, milikilah itu semua." "Mengapa kakak berbuat demikian ?" "Saya mau menjadi bhikku dibawah bimbingan Sang Guru." "Apakah yang kau katakah kakakku ? Sewaktu ibu meninggal kakak kuanggap sebagai pengganti ayah. Engkau memiliki banyak kekayaan. Sesungguhnya kakak dapat melaksanakan banyak jasa atau kebajikan walaupun hidup sebagai orang awam". "Bukanlah demikian 0 adikku, setelah mendengar Dhamma yang diajarkan oleh Sang Guru, saya tak dapat hidup lagi sebagai orang berumah tangga. Karena Sang Guru mengajar dhamma yang indah pada permulaan ( adikalyana ), indah pada pertengahan (majjhekalyana) dan indah pada akhir (priyosanakalyana) ,juga menerangkan dengan setepat-tepatnya dan meyakinkan tentang Tiga Corak Umum ( Tilakkhana ) dari semua bentuk materi dan batin, yaitu : Ketidak kekalan             ( Aniccā ), Penderitaan ( Dukkhā ), dan.Tanpa-Aku ( Anattā ). Saya tak dapat melaksanakan Dhamma dengan mudah bila masih hidup berumah tangga, jadi saya mesti menjadi bhikku, adikku!" "O, kakakku, dikau masih muda, tunggulah bila telah menjadi tua, dan waktu itulah dikau menjadi bhikkhu". "Adikku, orang yang telah lanjut usia tangaa maupun kakinya tak menurut perintah lagi,: untuk melaksanakan apa yang diinginkan oleh kita, dan bagaimana pula pendapat para sanak-keluarga ? Tidak, saya tidak akkan mengikuti apa yang di sarankah, saya akan menjadi bhikkhu."

Tangan dan kaki adalah lemah dan tak penurut bagi orang yang telah lanjut usianya.
Bagaimanakah  ia yang lemah dapat melaksanakan Dhamma dengan mudah ?"

Adikku, saya akan menjadi bhikkhu, lebih baik demikian daripada menghadapi hal-hal yang bertentangan dengan kehendakku."

Walaupun adiknya sedih, Mahã Pāla pergi menjumpai Sang Buddha dan memohon untuk ditahbiskan menjadi bhikkhu. la ditahbiskan menjadi bhikkhu dan tinggal bersama-sama dengan Sang Guru yang juga adalah Upajjhāyanya ( bhikkhu yang menerima permohonan seseorang untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhu ini menahbiskan sipemohon menjadi bhikkhu). Setelah ia menyelesaikan masa vassa kelima, dan setelah selesai upacara berakhirnya masa vassa (kaţhina ), ia menemui Sang Buddha, memberikan format dengan bernamaskara dan bertanya : "Bhante, ada berapa banyak tugas yang terdapat dalam Buddha Sasana ?" "Hanya ada dua tugas, o bhikkhu, yaitu Pariyatti Dhura ( belajar teori ) dan Vipassana Dhura (melaksanakan meditasi ), " "Bhante apakah yang dimaksudkan dengan Pariyatti Dhura dan Vipassana Dhura ?". "Pariyatti Dhura diperlukan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan tentang Dhamma yang sesuai dengan pengertiannya, menguasai satu atau dua Nikāya, atau keseluruhannya Buddha Sasana, menghafalkannya, menguncarkannya kembali (melafalkannya kembali) dan mengajarkannya. Sedangkan Vipassana Dhura yang mengarah pada kesucian, kesempumaan (Arahatta), mencakup hidup sederhana, puas dengan tempat tinggal sederhana, memusatkan pikiran pada pandangan tentang ketuaan ( jara ) atau kematian ( marana ), dan mengembangkan kebijaksanaan spirituil dengan usaha yang sungguh-sungguh. " "Bhante, saya menjadi bhikkhu pada umur agak lanjut, saya tidak akan dapat melaksanakan Pariyatti Dhura dengan sebaik-baiknya lagi, tetapi saya sanggup melaksanakan Vipassana Dhura, saya mohon diajarkan cara bersamadhi.

Demikianlah maka Sang Buddha mengajarkan cara bermeditasi yang mengarah ke Kesucian Tertinggi ( Arahatta ). Setelah itu ia memberikan hormat kepada Sang Buddha, dan mencari teman yang mau pergi bersamanya, ketika ia mendapatkan enam puluh bhikku, ia berangkat bersama mereka. Setelah mereka berjalan kira-kira dua puluh yojana, mereka tiba disebuah desa, selanjutnya bersama-sama mereka masuk kedesa untuk pidapata ( menerima makanan dari orang yang mendanakan makanan, dengan membawa patta atau mangkok makanan para bhikkhu atau samanera ). Penduduk desa setelah melihat tingkah laku para bhikkhu-bhikkhu ini baik, serta sungguh-sungguh melaksanakan Dhamma dan Vinaya (peraturan-peraturan ke-bhikkhuan) mereka senang sekali, maka para penduduk menyediakan tempat - tempat duduk, melayani mereka dengan menyuguhkan makanan dan minuman. Lalu orang-orang kampung bertanya : "Bhante, kemanakah para bhante akan pergi?" "Kami mau pergi ke tempat cocok untuk bermeditasi ( samadhi )," Setelah mendengar jawaban ini, seorang penduduk yang bijaksana mengerti maksud atau arti dari jawaban tersebut, lalu berpikir bahwa para bhikkhu sedang mencari tempat untuk bervassa ( vassa-musim hujan, maksudnya adalah untuk tinggal di suatu tempat selama musim hujan, lamanya tiga bulan). Setelah itu orang tersebut berkata : "Bilamana para bhikkhu akan menetap di sini selama tiga bulan masa vassa, maka kami dapat menjadi umat yang keyakinannya lebih teguh dan dapat melaksanakan sila-sila". Para bhikkhu berpikir pula, 'bahwa dengan pertolongan mereka ini maka kita akan terbebas dari roda samsara kehidupan (bhavacakka) lalu mereka memberikan persetujuan untuk menetap didekat kampung tersebut. Sedangkan orang kampung setelah mendengar persetujuan para bhikkhu untuk menetap, mereka mendirikan vihara, gedung pertemuan (sālā) siang dan malam, dan tempat tinggal para bhikkhu (kuti) setelah semua bangunan-bangunan itu rampung, mereka memberikannya kepada para bhikkhu Sangha. Jadi para bhikkhu berdiam didekat desa tersebut dan juga pindapata disitu. Disamping itu pula ada seorang dokter yang selalu datang memberikan jasa-jasanya kepada para bhikkhu, dengan berkata : "Bhante, bila banyak orang tinggal bersama, maka penyakit mudah sekali muncul, bila ada yang sakit silahkan beritahukan kepadaku, supaya saya dapat menyediakan obatnya.

Pada hari pertama para bhikkhu memulai massa vassanya, bhikkhu thera
( thera = yang tua ) bertanya kepada para bhikkhu : " Avuso (saudara; panggilan secara sopan dan baik kepada adik atau kebhikhuannya masih lebih muda ) sekalian, dengan posisi meditasi  manakah anda sekalian akan menghabiskan masa vassa selama tiga bulan ini ?" "Dengan empat posisi (duduk, berdiri, jalan dan berbaring ), bhante." "Apakah ini cocok dengan anda sekalian, avuso ?" Sesungguhnya kita harus waspad, karena dari mulut Sang Buddha sendiri kita mendapatkan ajaran cara bersamadhi dan dating kesini, jadi perhatian Guru kepada kita itu janganlah kita lalaikan, tetapi laksanakanlah itu sebaik-baiknya. karena bagi mereka yang lalai ditunggu oleh empat macam penderitaan, bagi siapa yang lalai ia menemukan akibatnya sesuai dengan apa yang dibuatnya. Maka waspadalah avuso sekalian." "Dan bagaimanakah anda sendiri, bhante (Mahã Pāla )?" "Saya akan menghabiskan masa vassa tiga bulan ini dengan melakukan tiga posisi saja yaitu saya tidak akan membaringkan tubuhku (hanya duduk, berdiri dan jalan), avuso." "Baiklah, bhante, waspadalah."

Diakhir dari bulan pertama, thera Mahã Pāla yang bertekad untuk tidak mau   membaringkan  tubuhnya   (dengan  demikian juga ia tidak tidur). mulai menderita sakit mata. air-matanya bercucuran, bagaikan air yang menetes dari kendi yang pecah. Sepanjang malam ia bersamadhi terus, dan diwaktu pagi ia masuk kedalam kutinya dan duduk. Pada waktu untuk pindapata, para bhikkhu datang memberitahukan kepada thera dengan berkata : "Bhante, sekarang sudah waktunya untuk pindapata." "Baiklah avuso, tolong ambilkan jubah dan patta saya. " Setelah patta dan jubah diberikan, mereka semua masuk ke desa untuk pindapata. Para bhikkhu melihat ada kelainan dimata beliau dan bertanya : "Bagaimana dengan mata bhante ?" "Angin merusak mataku, avuso." "Bukankah kita mendpat kesempatan berobat dari seorang dokter, bhante ?" Kami akan mernberitahukan hal ini kepadanya." "Baiklah, avuso." Mereka memberitahukan kepada dokter, yang langsung menyediakan obat tetes dan mengirimkannya untuk thera. Thera meneteskan obat tersebut pada hidungnya dengan posisi tetap duduk, lalu masuk ke dwsa. Dokter melihat nya dan berkata, : "Bhante, saya mendapat kabar bahwa angin merusak mata bhante ?" "Benar, upasaka." "Apakah bhante meneteskan obat yang kukirim kan ke hidung bhante." "Ya, saya meneteskannya, upasaka." "Bagaimanakah rasanya sekarang, bhante ?." "Rasa sakitnya seperti biasa, upasaka." Dokter berpikir : "Obat tetes yang kuberikan kepada beliau mesti telah menyembuhkan nya walaupun hanya sekali saja menggunakannya." Bagaimanakah sehingga beliau belum sembuh ?" Kemudian ia bertanya kepada thera : "Dimanakah bhante duduk atau membaringkan badan pada waktu meneteskan obat ?" Thera tidak menjawab. Walaupun dokter bertanya berulang-ulang, thera tetap diam. Dokter berpikir : "Saya akan ke vihara untuk melihat kuti beliau." la minta ijin dari thera dan berkata : "Baiklah, bhante", ia pergi ke vihara, memeriksa kuti thera, dan melihat tempat untuk berjalan dan duduk saja, dan tidak melihat tempat untuk berbaring. Setelah thera kembali, ia menemui thera dan bertanya: "Bhante, dimanakah bhante duduk atau berbaring pada waktu meneteskan obat ?" Tetapi thera tetap diam. "Bhante, sebaiknya janganlah bersikap demikian karena kewajiban spirituil (keagamaan) hanya .dapat dicapai dan dilaksanakan selama tubuh dalam keadaan sehat, nah, dimanakah bhante berbaring sewaktu meneteskan obat tersebut?" Setelah dokter bertanya berkali kali lalu thera menjawab : "Katakanlah apa yang kau mau, saya akan menimbang dan memutuskan apa yang harus saya lakukan, upasaka."

Thera menyadari bahwa didesa ini ia tak mempunyai sanak keluarga, jadi kepada siapakah ia harus minta tolong ? ( Seorang bhikkhu diijinkan untuk meminta sesuatu kepada keluarganya saja, tetapi bisa juga meminta sesuatu kepada orang lain yang telah memberikan Pavarānā = kesempatan untuk dimintai sesuatu ). la harus memikirkan hal ini, akhirnya ia berkata sendiri pada dirinya: "Sadarlah hai Pālita ( ini adalah nama lainnya ) katakan padaku, manakah yang kau pentingkan, matamu atau Buddha Sasana ?  Karena dalam lingkaran kehidupan (bhavacakka) yang tak diketahui asal mulanya, sudah tak terhitung berapa banyak kali kau jadi buta, dan dimasa-masa itu sudah beratus-ratus ribu para Buddha muncul dan pariNibbāna, pengalamanmu belum dapat menyamai seorang Buddha-pun. Sekarang ini kau bertekad untuk tidak membaringkan dirimu selama tiga bulan masa vassa. Biarlah, walaupun matamu rusak atau buta, laksanakanlah Dhamma sebaik-baiknya, dan bukan matamu!" la menegur dirinya sendiri dengan mengucapkan kata-kata berikut ini :

"Mataku lenyap, telingaku lenyap, demikian pula tubuhku nanti
Semua kewajiban untuk tubuhku-pun lenyap,
Pālita, mengapa tak waspada ?

Mataku rusak, telingaku rusak, demikian pula tubuhku
Semua kewajiban untuk tubuhku-pun rusak,
Pālita, mengapa tak waspada ?

Mataku lapuk, telingaku lapuk, demikian pula tubuhku
Semua kewajiban tubuhku-pun lapuk,
Pālita, mengapa tak waspada ?"

Demikianlah ia menegur dirinya dengan kata-kata diatas. Dan pada keesokan harinya ia meneteskan obat pada hidungnya dengan posisi tetap duduk, lalu masuk ke desa untuk pindapata. Dokter melihat beliau dan bertanya : "Bhante, apakah obat telah bhante teteskan kehidung ?" "Ya, upasaka." "Bagaimanakah perasaan bhante ?" "Rasa sakit hanya seperti biasa saja." "Bhante dimanakah bhante duduk atau berbaring sewaktu meneteskan obat ?" Thera diam saja. Dokter menanyakannya berulang-ulang kali, tetapi thera tidak mengeluarkan sepatah-katapun juga. Kemudian dokter berkata : "Bhante tidak melakukan apa yang mesti dilakukan demi kesehatan bhante sendiri. Jadi janganlah berkata 'sediakan obat untukku', dan saya akan menjawab “saya telah menyediakan obat untuk bhante." Dokter berlalu dan thera kembali ke vihara. la berguman : "Bhikkhu, walaupun dokter telah meninggalkanmu, tetapi jangan kau tinggalkan posisi meditasi) mu."

"Kau telah dibiarkan tidak dapat sembuh, kau ditinggalkan oleh doktermu.
Ditakdirkan untuk mati.
Pālita, mengapa kau tidak waspada ?"

Setelah menghibur dirinya dengan kata-kata ini, ia mulai bersamadhi kembali, Pada akhir dari “waktu pertengahan” (kira-kira hampir pukul 00.02 pagi  ;    dlm. tradisi bahasa Pāli atau  literatur Pāli, waktu malam dibagi tiga yaitu : “waktu permulaan” - kira-kira pukul 18.00 - 22.00; “Waktu pertengahan” - pkl. 22.00 - 02.02,; dan “waktu akhir” - pkl. 00.02 - 00.06 ) malam, penglihatannya dan kekotoran-kekotoran batinnya sama-sama lenyap, ia menjadi seorang Arahat, mencapai Kebijaksanaan tertinggi. Beliau masuk ke kuti nya dan duduk, Setelah waktu bagi para bhikkhu untuk pergi pindapata tiba, mereka datang menemui thera dan berkata : "Bhante, sudah waktunya untuk pindapata." "Ya, silahkan." "Tetapi bagaimanakah dengan bhante ?" "Penglihatan mataku telah tiada avuso." Mereka melihat kemata beliau, mata mereka sendiri akhirnya berlinang dengan air mata. "Jangan kuatir, kami akan membantu bhante," kata mereka kepada thera untuk menghibur beliau. Setelah menyelesaikan  tugas-tugas  mereka, mereka masuk ke desa untuk pindapata.

Penduduk desa karena tidak melihat thera bertanya kepada para bhikkhu: "Bhante dimanakah thera berada ?" Setelah mereka mengetahui apa yang telah terjadi, mereka membawa bubur untuk beliau. Setelah penduduk desa makan, satu persatu mereka datang bernamaskara kepada thera, dan dengan sedih mereka menangis berguling dibawah kaki thera. Sesudah itu mereka menghibur beliau dengan berkata : "Jangan kuatir, kami akan memperhatikan dan membantu bhante," dan mereka pulang. Sejak hari itu mereka mengirimkan makanan ke vihara setiap hari.

Thera sering menasehatkan ke enam puluh bhikkhu lainnya, mereka memperhatikan dan melaksanakan apa yang thera nasihatkan tersebut dengan sungguh-sungguh. Akhirnya pada waktu Pavarānā ( = satu upacara Sangha Kamma, khusus bagi para bhikkhu, dimana setiap akhir masa vassa, setiap bhikkhu menyatakan kesiap-sediaannya atau memberikan kesempatan untuk ia dikritik oleh bhikkhu lain, bila selama masa vassa ia melakukan kesalahan diantara mereka; juga pada kesempatan ini digunakan untuk meminta maaf atau nasehat dari bhikkhu-bhikkhu lain; melaksanakan upacara Khatina juga pada hari Pavarānā ini ) yaitu selesainya masa vassa tiga bulan mereka semua mencapai tingkat Arahat dan juga memiliki iddhi-viddhi (kekuatan batin). Pada akhir masa vassa tersebut mereka mau bertemu dengan Sang Buddha, lalu mereka berkata pada thera : "Bhante, kami mau menemui Sang Buddha." Ketika mereka mengatakan hal tersebut, thera berpikir, "saya sangat lemah, dan diperjalanan ada hutan yang didiami oleh mahluk-mahluk jahat. Bila saya pergi dengan mereka, mereka akan kecapaian, dan mereka tak dapat pindapata. Saya akan menyuruh mereka pergi dahulu."

Dengan demikian beliau berkata : "Avuso, pergilah kamu sekalian lebih dahulu."    "Tetapi bagaiMahãkah dengan bhante ?" • "Bilamana saya bersama kamu, kamu akan menjadi kecapaian, sebab itu pergilah lebih dulu." "Jangan begitu bhante, kami akan pergi bila bersama bhante." "Avuso, sebaiknya jangan berbuat demikian, bila kamu berbuat demikian saya akan terganggu. Bilamana adik saya melihat kamu dan menanyakan tentang saya, katakan bahwa saya telah buta, dengan demikian maka ia akan menyuruh seseorang datang menjemputku. Sampaikan hormat saya kepada Sang Pemilik Dasabala (sepuluh kekuatan - Sang Buddha) dan para Delapan puluh Mahã Thera," setelah berkata, ia menyuruh mereka pergi.

Mereka memohon maaf karena mendesak thera, dan masuk ke desa untuk pindapata. Penduduk desa menyiapkan tempat duduk, memberikan dana makanan, dan bertanya kepada para bhikkhu: "Bhante sekalian, bolehkan kami mengetahui mengapa bhante-bhante mau pergi ?" "Ya, kami mau menemui Sang Buddha, upasaka." Penduduk desa berulang-ulang kali memohon kepada para bhikkhu untuk tetap tinggal, tetapi akhirnya mereka menyadari bahwa para bhikkhu tetap pada keputusan untuk pergi. Mereka mengikuti rombongan bhikkhu dari belakang dengan menangis, dan akhirnya kembali.

Setelah berjalan dari satu tempat ke tempat yang lain, para bhikkhu tiba di Jetavana, menghormat dengan namaskara pada Sang Buddha dan kepada Delapan puluh Mahã Thera serta menyampaikan sālām dan hormat atas nama sang thera. Setelah berbuat demikian mereka masuk ke jalan dimana adik thera tinggal. Adik thera mengenal mereka, segera mengundang mereka, menyiapkan tempat duduk dan bertanya : "Bhante, dimanakah kakak saya ?" Mereka menceriterakan apa yang telah terjadi. la menjatuhkan dirinya di dekat kaki mereka, berguling-guling ditanah dan menangis.

Kemudian ia bertanya kepada para bhikkhu : "Bhante, apa yang harus dilaksanakan sekarang ?" "Sang thera memerlukan seseorang dari sini untuk menjemputnya kemari." "Bhante, disini ada seorang anak laki-laki, kemenakan ku (dari pihak isteri ) bernama Pālita, suruhlah dia." "Sebaiknya jangan menyuruh dia, sebab banyak bahaya diperjalanan. Tetapi kami dapat menyuruhnya bila ia telah menjadi samanera." "Lakukanlah begitu, dan suruh lah dia, bhante." Jadi mereka menahbiskahnya menjadi samanera, dan selama dua minggu mengajar dan membimbingnya untuk memakai jubah, dan Dhamma. Menunjukkan kepadanya jalan ke tempat thera, kemudian    menyuruhnya pergi.

Setelah melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, ia tiba di desa yang dituju. Bertemu dengan seorang tua di gerbang desa, lalu ia bertanya : "Apakah ada hutan pertapaan disekitar kampung ini ?" "Ya, ada, bhante."   "Siapakah yang berdiam disitu ?"   "Seorang bhikkhu bernama Pālita, bhante." "Tolong tunjukkan jalan kesana." "Siapakah bhante sebenarnya?" "Saya adalah anak laki - laki dari saudara perempuan sang bhikkhu." Demikianlah orang tua tersebut mengantarnya ke vihara. la memberikan hormat pada thera, dan selama dua minggu melaksanakan pekerjaan besar maupun kecil untuk thera, dan melayaninya dengan sungguh-sungguh. Kemudian ia berkata kepada thera : "Bhante, paman saya ingin sekali supaya bhante mengunjunginya, marilah kita pergi kesana." "Baiklah, peganglah pada tongkat ku." Dengan memegang ujung tongkat ia memasuki desa bersama thera. Penduduk desa menyediakan tempat duduk dan bertanya : "Bolehkan kami mengetahui maksud kepergian bhante ?" "Ya, saya mau pergi memberikan hormat kepada Sang Guru, upasaka." Penduduk desa berusaha sedapat-dapat nya untuk membujuk supaya thera jangan pergi tetapi tidak berhasil, mereka mengikuti beliau sampai pada jarak tertentu, pulang dengan menangis.

Tak lama kemudian setelah Samanera berjalan agak jauh dengan membimbing sang thera dengan cara memegang ujung tongkatnya, mereka tiba di desa Katthanagara yang terpencil dekat hutan dimana pernah thera diami. Sewaktu mereka berjalan terus keluar dari desa, samanera mendengar suara nyanyian seorang wanita yang sedang mengumpulkan kayu-bakar didalam hutan. la mendengar nyanyiannya dan terpikat serta sangat menyukai suaranya. (Tidak ada suara lain yang dapat dibandingkan dengan kekuatan suara wanita untuk mendebarkan hati laki-laki. Sebab itulah Sang Buddha bersabda : "Oh, bhikkhu, saya tahu bahwa tidak ada suara lain dengan sempurna dapat menguasai  hati  seorang  laki-laki  selain dari pada suara wanita."   (  A.i.1  ).

Samanera merasa takjub dan terpesona sekali dengan suaranya, ia ingin melepaskan pegangannya pada tongkat, lalu ia berkata : "Bhante, tunggu sebentar, saya mempunyai urusan sedikit." Setelah berkata demikian ia pergi kearah wanita tersebut. Ketika wanita tersebut melihatnya, ia berhenti menyanyi Samanera lalu melakukan perbuatan asusila dengannya. Thera berpikir, "Baru-baru saja saya mendengar nyanyian seseorang dan itu tidak lain dari pada suara wanita. Samanera meninggalkanku, ia mesti telah melakukan kamesumicchacara (asusila). Setelah samanera menyelesaikan keinginannya ia kembali dan berkata pada thera : 'Bhante, marilah kita meneruskan perjalanan." Tetapi thera bertanya kepadanya : "Samanera, apakah kau telah melanggar sila ?" Samanera diam saja, dan walaupun pertanyaan diulang-ulang ia tetap bungkam. Lalu sang thera berkata: "Pelanggar sila seperti engkau takkan dapat memegang tongkatku lagi."

Samanera merasa sedih sekali, mengganti jubahnya dengan pakaian orang biasa, dan berkata : "Bhante, tadi saya sebagai samanera, tetapi sekarang saya telah menjadi orang biasa lagi. Disebabkan karena bukan keinginan ku saya menjadi samanera, tetapi ini disebabkan karena saya takut akan bahaya dalam perjalanan. Marilah kita meneruskan perjalanan, bhante." Thera menjawab : "Pembuat kejahatan adalah orang jahat, apakah dia umat awam atau samanera. Sewaktu kau sebagai samanera kau tak dapat mempertahankan silamu, apakah engkau akan menjadi lebih baik setelah menjadi orang awam lagi? Seorang amoral seperti kau ini tak boleh memegang tongkatku lagi." "Bhante, jalan ditunggui oleh setan dan mahluk-mahluk jahat, dan bhante buta. Bagamanakah bhante dapat tinggal disini ?" Thera menjawab : "Tidak perlu engkau menguatirkan tentang saya. Tidak perduli apakah saya terbaring atau mati disini, atau jalan kesana-kemari, tetapi saya tak mau pergi bersamamu." Setelah berkata demikian beliau mengucapkan kata-kata berikut :

"Saya telah kehilangan pandangan mataku, jalan melelahkan telah kutempuh.   
Saya akan terbaring dan tak akan pergi jauh,
tidak ada persahabatan dengan orang jahat.
Saya telah kehilangan pandangan mataku, jalan melelahkan telah kutempuh.    
Saya akan mati, tak dapat pergi jauh lagi, tidak ada persahabatan dengan orang jahat."

Ketika Pālita mendengar kata-kata ini ia merasa sedih sekali. la berteriak dan menangis," Suatu perbuatan sangat hina, buruk dan tak pantas telah kulakukan !" la menangis dan menutup mukanya dengan tangan meloncat masuk kedalam hutan dan pergi.

Dengan kekuatan kebajikan thera, maka 'singgasana batu kuning' dari
raja devata Sakka, yang panjangnya enampuluh yojana ( km ? ), lebar limapuluh yojana dan tebal limabelas yojana, berwarna seperti bunga Jayasumana, yang menjadi rendah atau meninggi dengan sendirinya bila deva Sakka akan duduk atau berdiri, menjadi panas. "Siapakah yang memerlukan saya sehingga singgasanaku ini menjadi begini ?" pikir deva Sakka. Dengan mata ke devaannya ia melihat ke bumi mendapatkan dan melihat thera. Demikianlah kata-kata kuno ini disebutkan :

"Raja devata yang memiliki seribu mata, mensucikan mata kedevaannya.
Pāla     (thera) yang penuh dengan kekotoran batin, mensucikan hidupnya.
Raja devata  yang memiliki seribu mata, mensucikan mata kedevaaanya.
 Pāla yang hidup sesuai dengan Dhamma, hidup penuh kebahagiaan dalam Dhamma."

Kemudian pikiran ini muncul padanya : "Bila saya tidak pergi membantu ia yang telah melenyapkan kekotoran batin, thera yang hidup sesuai dengan Dhamma, maka kePālaku bagaikan akan pecah menjadi tujuh. Saya akan pergi kepadanya," dan ia berbuat demikian.

"Raja devata yang memiliki seribu mata, memiliki kemuliaan lebih dari pada devata lainnya, segera pergi menghampiri CakkhuPāla." (Cakkhu artinya mata, belakangan beliau dikenal dengan nama CakkhuPāla Thera karena matanya buta).

Begitulah, maka deva Sakka menghampiri thera. Pada waktu deva Sakka telah berada didekat thera, ia membunyikan langkahnya.
"Siapakah saudara?" tanya thera.
"Bhante, saya seorang pelancong."
"Kemanakah kau mau pergi, saudara ?"
"Ke Sãvatthi, bhante."
"Silahkan teruskan perjalanan saudara."
"Tetapi, bhante mau pergi ke mana ?"
"Saya mau ke Sãvatthi juga."
"Baiklah, marilah kita pergi bersama, bhante."
"Saya lemah, bila saudara pergi dengan saya,  maka saudara  akan terlambat."
"Saya tak mempunyai urusan  penting, disamping itu, bila saya pergi bersama bhante, sedikit-dikitnya saya dapat berbuat jasa kebaikan. Marilah kita pergi bersama, bhante."
Thera berpikir: "Tidak diragukan lagi dia ini seorang budiman," maka ia berkata : "Baiklah, peganglah ujung tongkat saya saudara." Deva Sakka memperpendek jarak perjalanan sehingga mereka tiba diwaktu senja. Thera mendengar bunyi-bunyian terompet, tambur dan alat-alat bunyi-bunyian lainnya, lalu ia bertanya : "Dimanakah suara-suara itu ?"
"Di Sãvatthi, bhante."
"Saudara,  dahulu sewaktu pergi dari sini, kami harus menempuhnya dengan memakan waktu yang lama."
"Bhante, saya tahu jalan yang pendek."
Pada saat itu juga thera menyadari sendiri bahwa dia ini bukan manusia. tetapi dia adalah devata.
"Raja devata yang memiliki seribu mata, memiliki kemuliaan lebih dari pada devata lainnya, memperpendek jarak, dan tiba dengan cepat di Sãvatthi."
Deva Sakka mengantarkan thera ke pondok yang telah disediakan oleh adiknya untuk digunakan secepat-cepatnya, mendudukkan thera di bangku setelah ia merobah dirinya (menyaru) seperti teman baik adik thera, lalu pergi menemuinya.
"Sahabat Pāla !" panggilnya.
"Ada apa sahabatku ?"
"Apakah kau mengetahui bahwa thera telah tiba ?"
"Tidak, apakah benar thera telah tiba ?"
"Ya, sahabatku, saya baru kembali dari vihara dan melihat thera duduk di pondok dari daun-daunan dan rumput-rumputan yang engkau buat untuk beliau." Setelah berkata ia berlalu.
Adik thera pergi ke vihara. Ketika ia melihat kakaknya, ia menjatuhkan dirinya dikaki thera berguling-guling ditanah dan menangis. Kemudian ia berkata : "Saya tahu hal ini akan terjadi, bhante. Karena hal inilah maka saya mencegah dan tak mengijinkan anda menjadi bhikkhu. Setelah bercakap-cakap dengan thera beberapa waktu lamanya, ia mengijinkan dua orang pembantunya menjadi samanera dibawah asuhan thera. Setelah itu ia memerintahkan (kepada pembantu yang lain) dengan berkata : "Ambillah bubur dan makanan lainnya dari desa serta tolonglah thera." Kedua samanera baru bertugas membantu serta menolong melakukan pekerjaan-pekerjaan lainnya untuk thera.

Pada suatu hari serombongan bhikkhu yang tinggal di daerah yang jauh datang ke Jetavana untuk bertemu dengan Sang Buddha. Setelah bernamaskara pada Sang Buddha dan bertemu dengan delapan puluh Mahã Thera mereka lalu berjalan-jalan mengelilingi vihara. Ketika mendekati lingkungan dimana bhikkhu CakkhuPāla berdiam, mereka berkata : "Marilah kita menemuinya pula." Demikianlah diwaktu sore hari mereka pergi ketempat bhikkhu CakkhuPāla, tetapi pada saat itu hujan lebat turun dengan derasnya. Mereka kembali dan berkata: "Sekarang sudah malam dan hujan lebat sekali. Sebaiknya kita pergi mengunjunginya besok pagi saja." Hujan turun terus selama waktu yang pertama, tetapi pada waktu pertengahan (kedua) hujan berhenti.

Sang Thera adalah orang yang bersemangat sekali, terbiasa dengan ber-cangkamana          ( meditasi sambil berjalan ), beliau keluar pondoknya diakhir waktu pertama dan berjalan-jalan. Pada saat itu banyak sekali serangga di tanah keluar, karena tanah menjadi basah dan karena Sang thera jalan kesana kemari, akibatnya banyak serangga yang mati terinjak. Samanera yang tinggal di dekat pondok thera tidak menyapu tempat yang dipakai thera untuk berjalan-jalan. Ketika para bhikkhu pengunjung tiba, lalu berkata : "Kami mau melihat pondok dimana thera berdiam," dan mereka melihat serangga-serangga yang mati di jalanan. Mereka bertanya : "Siapakah yang berjalan-jalan ditempat ini ?" "Guru kami, bhante." Mereka berpikir bahwa itu adalah suatu pelanggaran dan berkata: "Lihat apa yang telah dibuat oleh bhikkhu. Ketika masih dapat melihat, ia berbaring dan tidur tanpa berbuat pelanggaran. Tetapi sekarang ia telah buta, dan berkata pada dirinya sendiri, "saya mau jalan", akibatnya ia telah membunuh serangga-serangga ini, la berkata, "apa yang benar 'saya akan buat, tapi dalam kenyataan malahan salah telah diperbuatnya."

Demikianlah mereka pergi dan melaporkan hal ini kepada Sang Buddha, dengan berkata : "Bhante, CakkhuPāla thera berkata pada dirinya, 'saya mau berjalan,' nyatanya ia telah membunuh banyak serangga."
"Tetapi apakah kamu melihat ia membunuh mereka ?"
"Kami tidak melihatnya, bhante."
"Demikianlah karena kamu tidak melihatnya, begitu pula ia tidak melihat serangga-serangga tersebut. O.para bhikkhu, mereka yang telah terbebas dari segala kekotoran batin tidak mempunyai kehendak untuk membunuh."
"Bhante, tolong jelaskan bahwa ia telah ditakdirkan untuk menjadi arahat, tetapi mengapa akhirnya ia menjadi buta ?"
"Para bhikkhu, itu terjadi berdasarkan perbuatan buruknya dalam kehidupannya yang lampau."
"Mengapa bhante, apa yang telah ia perbuat ?"
"Baiklah, dengarlah, O para bhikkhu :

CERITERA KEHIDUPAN YANG LAMPAU :

-DOKTER YANG JAHAT DAN WANITA -
Pada waktu telah lampau, ketika raja Kāsi berkuasa di Benares, seorang dokter berjalan dari kota ke kota lain, dari desa ke desa lain melakukan pekerjaannya, ia menemukan seorang wanita yang matanya sakit, ia bertanya:
"Bagaimanakah dengan matamu ?"
"Penglihatanku telah kabur."
"Saya akan memberikan obat padamu."
"Lakukanlah, tuan."
"Tetapi apa yang akan kau berikan kepadaku ?"
"Bilamana anda dapat menyembuhkan mataku ini dengan baik, saya dan anak lalki-laki  maupun anak perempuanku akan menjadi pembantumu."
"Baiklah," jawabnya. Demikianlah ia menyiapkan obat untuknya, dan dengan hanya sekali diobati saja, matanya menjadi sembuh kembali dengan baik.
Karena hal ini, maka perempuan ini berpikir: "Saya berjanji untuk menjadi pembantunya, demikian pula dengan anak laki-laki maupun anak perempuanku. Tetapi ia tidak akan mengurusi kami dengan baik, maka saya akan menipunya."
Ketika dokter datang dan menanyakan tentang keadaan matanya, ia menjawab : "Dulu mata saya sakitnya sedikit saja, tetapi sekarang sakitnya lebih hebat dari pada semula.
Pikir dokter tersebut : "Wanita ini mau menipuku karena ia tak ingin memberikan sesuatu. Saya tak mau bayarannya, sekarang saya akan membuatnya buta." Begitulah ia kembali kerumah dan menceriterakan kejadian ini pada isteri nya, tetapi isterinya tidak memberikan komentar sedikitpun. Lalu dokter membuat obat cairan, sesudah itu ia pergi kerumah wanita tadi, dan menyuruhnya untuk meneteskan obat itu kematanya. Wanita tersebut melakukannya, akibatnya matanya menjadi buta, bagaikan nyala yang padam.

Dokter itu adalah CakkhuPāla
Demikianlah ceritera yang lampau.

"O bhikkhu, perbuatan salah yang dibuat oleh muridku mengikutinya terus, karena perbuatan jahat mengikuti si pembuatnya bagaikan roda pedati mengikuti jejak lembu yang menariknya."
Sesudah itu Sang Buddha mengucapkan gātha ( ayat,Dhammapada) ini:
(1)   "Pikiran adalah lebih dahulu, mulanya dan asal dari segala sesuatu dibuat.
Berdasarkan pikiran yang kotor orang itu berkata dan berbuat.
Penderitaan mengikutinya bagaikan roda pedati mengikuti jejak lembu yang menariknya."

Diakhir Sang Buddha mengucapkan syair (gātha) ini, banyak bhikku (tiga  ribu  bhikkhu)   menjadi arahat dan mempunyai  patisambhida pula.

(sumber : YAMAKA VAGGA – SYAIR SYAIR KEMBAR  I.
                 Alih bahasa Bhikkhu Aggabalo
               Diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa-arama (Pebruari 1978)