Sabtu, 11 Juni 2011

Perkawinan dalam Agama Buddha

Perkawinan dalam Agama Buddha 

Sumber : http://wihara.com/forum/theravada/736-perkawinan-dalam-agama-buddha

Pendahuluan
Dalam pandangan Agama Buddha, perkawinan adalah suatu pilihan dan bukan kewajiban. Artinya, seseorang dalam menjalani kehidupan ini boleh memilih hidup berumah tangga ataupun hidup sendiri. Hidup sendiri dapat menjadi pertapa di vihara - sebagai Bhikkhu, samanera, anagarini, silacarini - ataupun tinggal di rumah sebagai anggota masyarakat biasa.
Sesungguhnya dalam Agama Buddha, hidup berumah tangga ataupun tidak adalah sama saja. Masalah terpenting di sini adalah kualitas kehidupannya. Apabila seseorang berniat berumah tangga, maka hendaknya ia konsekuen dan setia dengan pilihannya, melaksanakan segala tugas dan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Orang yang demikian ini sesungguhnya adalah seperti seorang pertapa tetapi hidup dalam rumah tangga. Sikap ini pula yang dipuji oleh Sang Buddha, seperti dalam syair di atas.

Mencari dan Membina Pasangan Hidup
Dalam menguraikan tujuan hidup manusia, disebutkan salah satunya adalah tentang adanya pencapaian kebahagiaan di dunia. Dengan demikian, pasti ada cara untuk mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga. Pasti ada pula petunjuk dan cara-cara mendapatkan pasangan hidup yang sesuai serta membina hubungan baik, mempertahankan komunikasi serasi setelah menjadi suami istri. Memang, hal tersebut dapat diperoleh dalam Kitab Suci Tipitaka, Digha Nikaya III, 152, 232 dan dalam Anguttara Nikaya II, 32. Diuraikan di sana bahwa ada minimal empat sikap hidup yang dapat dipergunakan untuk mencari pasangan hidup sekaligus membina hubungan sebagai suami istri yang harmonis. Keempat hal itu adalah:
1. Kerelaan (Dana)
Dalam Hukum Kamma (Samyutta Nikaya III, 415) telah disebutkan bahwa sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pula buah yang akan kita petik. Pembuat kebajikan akan memperoleh kebahagiaan. Dengan demikian, apabila kita ingin diperhatikan orang, mulailah dengan memberikan perhatian kepada orang lain. Apabila kita ingin dicintai orang, mulailah dengan mencintainya. Cinta di sini bukanlah sekedar keinginan untuk menguasai, melainkan hasrat untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Kualitas cinta ini seperti seorang ibu yang menyayangi anak tunggalnya. Ia akan mempertahankan anak tercintanya dengan seluruh kehidupannya, melindungi anak tersayangnya dari segala macam bahaya dan bencana, memberikan segalanya demi kebahagiaan anaknya, serta rela memaafkan segala kesalahan anaknya.
Dalam mencari dan membina pasangan hidup, kerelaan jelas amat diperlukan. Kerelaan materi di awal perkenalan dapat dikembangkan menuju kemampuan merelakan keakuan. Kerelaan keakuan ini berbentuk pengembangan sifat saling pengertian, saling memaafkan. Kesalahan pasangan hidup, seringkali bukanlah karena disengaja. Oleh karena itu, menyadari kenyataan ini menjadikan seseorang lebih sabar dan rela memberikan kesempatan berkali - kali kepada pasangan untuk dapat membangun kualitas dirinya. Berilah pasangan kesempatan untuk memperbaiki diri.
Kemarahan bukanlah tanda cinta. Kemarahan adalah tanda keakuan. Ingin segala harapannya terpenuhi. Dengan kerelaan, orang akan lebih mudah mengerti serta menerima kekurangan dan kelemahan orang lain. Sikap ini akan menjadi salah satu tiang kokoh dalam menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya dengan pasangan hidup.
2. Ucapan yang Baik/Halus (Piyavaca)
Dalam dunia ini, siapapun pasti akan suka mendengar kata-kata yang halus, termasuk pula pasangan hidup. Tidak ada orang yang suka mendengar kata kasar, walaupun orang itu sendiri kasar kata-katanya. Menghindari caci maki dan gemar berdana ucapan yang menyenangkan pendengar, akan sangat membantu dalam membina hubungan dengan pasangan hidup. Dengan kata-kata halus yang tetap berisi kebenaran akan menjadi daya tarik yang kuat dalam menjaga keharmonisan hubungan.
Sampaikanlah pujian kita pada pasangan dengan kalimat yang menyenangkan. Demikian pula, ucapkan kritikan pada pasangan dengan bahasa yang halus dan saat yang tepat, untuk menghindari kesalahpahaman.
Perlu direnungkan, menyakiti hati orang yang dicintai dengan kata-kata pedas sesungguhnya sama dengan menyakiti diri sendiri. Sebab, orang tentunya akan menjadi sedih apabila orang yang dicintainya juga sedang sedih.
3. Melakukan Hal yang Bermanfaat Baginya (Atthacariya)
Sekali lagi berdana timbul dalam bentuk yang lain. Dalam pengembangan konsep berdana, sudah ditekankan akan adanya pembentukan sikap mental: “Semoga semua mahluk hidup berbahagia”. Demikian pula dengan pasangan hidup. Ia adalah mahluk pula, berarti ia harus diberi kesempatan berbahagia pula. Orang harus berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan pasangan hidupnya. Sesungguhnya, kebahagiaan orang yang dicinta adalah kebahagiaan orang yang mencintainya.
Dengan demikian, tingkah laku hendaknya selalu dipikirkan untuk membahagiakan orang yang dicintai. Banyak pendapat umum yang menganggap bahwa cinta adalah menuntut. Orang yang dicintai haruslah mampu memenuhi harapan orang yang mencintai. Konsep ini sesungguhnya tidak tepat. Sebab, apabila orang yang dicintai sudah tidak mampu lagi memenuhi harapan, apakah ia kemudian diceraikan?
Oleh karena itu, cinta sesungguhnya memberi, merelakan. Cinta mengharapkan orang yang dicintai berbahagia dengan caranya sendiri, bukan dengan cara orang yang mencintai. Jika konsep ini telah dapat ditanamkan dengan baik dalam setiap insan, maka mencari pasangan hidup bukanlah masalah lagi. Siapakah di dunia ini yang tidak ingin dibahagiakan?
Pola pikir ‘ingin membahagiakan orang yang dicintai’ hendaknya terus dipupuk dan dipertahankan termasuk dalam kehidupan perkawinan. Apabila bukan pasangan hidupnya sendiri yang membahagiakannya, apakah seseorang akan meminta orang lain untuk membahagiakan dirinya?
4. Batin Seimbang, Tidak Sombong (Samanattata)
Pengembangan sikap penuh kerelaan, ungkapan dengan kata yang halus dan tingkah laku yang bermanfaat untuk orang yang dicintai hendaknya tidak memunculkan kesombongan. Jangan pernah merasa bahwa tanpa diri ini segala sesuatu tidak akan terjadi. Dalam konsep Buddhis, segala sesuatu selalu disebabkan oleh banyak hal. Tidak akan pernah ada penyebab tunggal. Demikian pula dengan adanya kebahagiaan seseorang, pasti bukan disebabkan hanya karena satu orang saja. Banyak unsur lain yang mendukung timbulnya kondisi tersebut.
Keseimbangan batin sebagai hasil selalu menyadari bahwa kebahagiaan adalah karena berbagai sebab dan kebahagiaan muncul karena buah kammanya masing-masing akan dapat menghindarkan seseorang dari sifat sombong. Kesombongan selain tidak sedap didengar juga akan menjengkelkan calon maupun pasangan kita. Kesombongan mempunyai pengertian bahwa pasangan kita tidak mampu melakukan apapun juga apabila tanpa kita. Kesombongan adalah meniadakan usaha baik seseorang yang kita cintai. Perjuangan yang tidak dihargai akan sangat menyakitkan. Kurangnya penghargaan yang layak akan menimbulkan masalah besar dalam masa pacaran maupun setelah memasuki kehidupan berumah tangga.
Dalam usaha mencari dan membina pasangan hidup, selain selalu berusaha melaksanakan empat sikap di atas, hendaknya jangan melupakan adanya beberapa hal yang perlu dijadikan pertimbangan. Hal ini apabila terpenuhi akan menjadi faktor tambahan yang akan lebih membahagiakan kehidupan berumah tangga. Terdapat empat faktor yang membuat rumah tangga lebih berbahagia. Empat hal tersebut telah diuraikan dalam Anguttara Nikaya II, 60 yaitu bahwa pasangan hendaknya memiliki kesamaan dalam Keyakinan, Sila, Kedermawanan, dan Kebijaksanaan.

 1. Kesamaan Keyakinan (sadha)
Saddha bukan hanya berarti harus sama dalam agama, tetapi merupakan keyakinan yang muncul dari pikiran dan pandangan yang benar sehingga akan membentuk pola hidup. Kita menyadari bukan agama yang membuat batasan-batasan tertentu, tetapi pencerapan dan penyelaman kita akan ajaran itu yang mempunyai keterbatasan.
Namun demikian, keyakinan yang berbeda sering menimbulkan masalah bagi pasangan. Jika masing-masing pihak bersikeras pada keyakinannya, bahkan salah satu pihak memaksakan keyakinannya pada pihak lain, tentunya hal ini akan menyebabkan keharmonisan terganggu.
Butuh toleransi dan pengertian yang besar dari kedua belah pihak. Berbagai masalah akibat perbedaan keyakinan pun masih dapat terus muncul apabila hubungan akan dilanjutkan dalam ikatan perkawinan. Menentukan tempat pemberkahan pernikahan dapat menjadi beban ekstra. Setelah memiliki anak pun masalah ini masih terus berlanjut Pasangan mungkin akan terus terlibat dalam diskusi berkepanjangan dan mungkin perdebatan sengit tentang pembinaan agama bagi keturunan mereka.
 2. Kesamaan Kemoralan (sila)
Apabila keyakinan telah sama, maka hendaknya pasangan memiliki keserasian dalam tingkah laku. Pasangan hendaknya selalu berusaha bersama-sama melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila Buddhis terdiri dari lima latihan kemoralan, yaitu usaha untuk menghindari pembunuhan, pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan (Anguttara Nikaya III, 203). Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan banyak menghindarkan masalah dalam masyarakat dan rumah tangga. Dalam segala lapisan masyarakat, pelanggaran kelima latihan kemoralan ini akan dipandang sebagai kesalahan. Pelaksanaan kelima latihan kemoralan ini akan menjadikan seseorang diterima masyarakat dengan baik. Pelaksanaan latihan kemoralan ini dalam rumah tangga akan membebaskan seseorang dari rasa bersalah, membuka wawasan komunikasi yang baik serta menghindarkan saling curiga dan was-was di antara pasangan.
3. Kesamaan Kedermawanan (caga)
Caga bukan hanya berarti suka berdana, tetapi adalah seseorang yang mempunyai jiwa tanpa beban, jiwa melepas, tidak tergantung, dan tidak melekat. Bagi orang yang murah hati pasti akan lebih mampu memiliki metta, karuna, mudita, dan upekkha. Orang yang murah hati batinnya tidak ada hambatan dan selalu bahagia sehingga akan memudahkan untuk pengembangan batin yang lainnya.
Memiliki watak kedermawanan yang sama dimaksudkan agar masing-masing individu mengerti bahwa cinta sesungguhnya adalah memberi segalanya demi kebahagiaan orang yang kita cintai dengan iklas dan tanpa syarat. Selama sikap ini masih belum tertanam baik-baik di pikiran setiap pasangan, masalah sebagai akibat tuntutan agar pasangan dapat memenuhi harapan kita akan selalu muncul.
 4. Kesamaan Kebijaksanaan (pañña)
Kesamaan dalam kebijaksanaan diperlukan agar bila menghadapi masalah hidup, pasangan mempunyai wawasan yang sama. Wawasan yang sama akan mempercepat penyelesaian masalah. Perbedaan kebijaksanaan akan menghambat dan memboroskan waktu. Pasangan membutuhkan waktu lebih lama untuk adu argumentasi menyamakan sikap dan pola pikir terlebih dahulu sebelum memikirkan jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi. Kebijaksanaan yang dimaksud tentu yang sesuai dengan Buddha Dhamma.
Buddha Dhamma telah mengajarkan bahwa hidup ini berisikan ketidakpuasan. Penyebab adanya ketidakpuasan ini hanyalah karena keinginan sendiri yang tidak terkendali. Oleh karena itu, apabila seseorang dapat mengendalikan keinginannya, maka ketidakpuasannya pun akan dapat segera diatasi. Lalu, akhirnya Dhamma memberikan jalan keluar untuk mengatasi dan mengendalikan keinginan. Dengan memiliki konsep berpikir seperti ini, maka tidak akan ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Sesungguhnya, dengan melaksanakan hidup sesuai dengan Dhamma, kebahagiaan pasti akan dapat dirasakan.

Upacara Perkawinan Buddhis di Indonesia
Dalam mengajarkan Dhamma, Sang Buddha tidak pernah memberikan peraturan baku tentang upacara pernikahan. Hal ini disebabkan karena tata cara perkawinan adalah merupakan bagian dari kebudayaan suatu daerah, yang pasti akan berbeda antara satu tempat dan tempat yang lain.
Biasanya di beberapa negara Buddhis, pasangan yang bertunangan mengundang para bhikkhu untuk memberikan pemberkahan di rumah mereka ataupun di vihara sebelum hari pernikahan. Jika dikehendaki, pemberkahan itu dapat pula dilakukan setelah pernikahan yang biasanya berlangsung di Kantor Catatan Pernikahan atau di rumah pihak yang bersangkutan. Diharapkan agar pasangan-pasangan yang beragama Buddha lebih rajin menunaikan kewajiban-kewajiban agama apabila mereka menikah.
Kebaktian untuk pemberkahan perkawinan diawali dengan persembahan sederhana berupa bunga, dupa, dan lilin. Pemberkahan ini diikuti pula oleh orang tua kedua pihak dan sanak keluarga serta kawan-kawan yang diundang. Hal ini akan menjadi suatu sumbangan spiritual yang pasti untuk keberhasilan, langkah dan kebahagiaan pasangan yang baru menikah.
Sedangkan tata cara perkawinan Buddhis menurut tradisi di Indonesia, biasanya yang paling penting adalah adanya proses penyelubungan kain kuning kepada kedua mempelai. Pada saat itulah, mempelai mendapatkan pemercikan air paritta. Pengertian penyelubungan kain kuning ini adalah bahwa sejak saat itu, kedua pribadi yang menikah telah dipersatukan. Oleh karena itu, badan mereka dapat berbeda, namun hendaknya batin bersatu dan bersepakat untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga. Sedangkan pemercikan air paritta melambangkan bahwa seperti air yang dapat membersihkan kekotoran badan maupun barang, maka demikian pula, dengan pengertian Buddha Dhamma yang dimiliki, hendaknya dapat membersihkan pikiran kedua mempelai dari pikiran-pikiran negatif terhadap pasangan hidupnya, yang sekaligus juga merupakan teman hidupnya.
Itulah uraian singkat pada salah satu dari sekian banyak proses pernikahan Buddhis yang biasanya dilaksanakan di vihãra-vihãra di Indonesia. Proses tersebut dapat dikatakan sebagai puncak acara pernikahan Buddhis yang berlaku di masyarakat Indonesia. Jika ingin lebih jelas, dapat menyempatkan diri untuk menyaksikan pernikahan Buddhis di vihãra terdekat.

Membina Keluarga Buddhis Bahagia
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah :

a.   Hak dan Kewajiban
Telah disebutkan di atas bahwa keluarga bahagia adalah komponen terpenting pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut, maka persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian, orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pihak terkait satu dengan yang lain. Oleh karena itu, agar mendapatkan kebahagiaan bersama dalam kehidupan berkeluarga, diperlukan adanya pengertian tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Setiap anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar munculnya hak dan kewajiban. Pada Anguttara Nikaya I, 87 dinyatakan: ‘Sebaiknya orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari pertolongan yang telah diberikan pihak lain kepada diri sendiri agar muncul keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya’. Pola pandangan hidup ajaran Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin ketenangan, keharmonisan, dan kebahagiaan keluarga.
 b.   Kemoralan
Dalam pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya III, 203, yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari :
1. melakukan pembunuhan / penganiayaan
2. pencurian
3. pelanggaran kesusilaan
4. kebohongan, bicara kasar, omong kosong, dan bergosip
5. mabuk-mabukan dan mengkonsumsi segala sesuatu yang menimbulkan ketagihan (misalnya narkoba)
Pelaksanaan kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.
c. Ekonomi
Faktor pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri.
Mengetahui pentingnya kondisi ekonomi untuk kebahagiaan keluarga, maka Sang Buddha juga telah menguraikan dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285. Dalam nasehat Beliau di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya, yaitu:
Ø Pertama, orang hendaknya rajin dan bersemangat di dalam bekerja mencari nafkah.
Ø Kedua, hendaknya ia menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannya mudah hilang atau dicuri. Orang hendaknya juga terus menjaga cara bekerja yang telah dilakukannya sehingga tidak mengalami kemunduran atau kemerosotan.
Ø Ketiga, berusahalah untuk memiliki teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta
Ø Keempat, berusaha menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu boros, dan juga tidak terlalu kikir.
Melaksanakan tuntunan cara hidup yang diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga telah dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga tersebut, maka untuk mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya lagi dapat disimak Sabda Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya II, 249 yang menyebutkan bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, semua disebabkan oleh empat hal, atau sebagian dari keempat hal itu. Apakah keempat hal itu? Keempat hal itu adalah menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki apa yang telah rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat kebajikan.
Harus disebutkan pula bahwa kesinambungan adanya semangat bekerja memegang peranan penting untuk keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal ini dalam Khuddaka Nikaya 2444, yaitu bekerjalah terus pantang mundur; hasil yang diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita. Dan bila semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan, maka tiada lagi kekuatan yang mampu menghalangi keberhasilannya. Sang Buddha pernah bersabda dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa ‘seseorang yang tak gentar pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan manfaat yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi keberuntungan. Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya’.
 d.   Perkawinan harmonis
Istilah ‘keluarga’ tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga, yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan sebutan ‘perkawinan’. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut.
Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya. Oleh karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 118, yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta Nikaya 165).
Sedangkan tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta rajin dan tidak malas, pandai dan rajin dalam melaksanakan semua tugasnya serta segala tanggung-jawabnya.
Konsekuensi logis lembaga perkawinan adalah melahirkan keturunan. Dan, Sang Buddha juga memberikan petunjuk-Nya agar terjadi hubungan harmonis antara orang tua dan anak serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila masing-masing pihak menyadari dan melaksanakan tugas-tugasnya. Untuk itu, dalam kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang tua, yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah laku yang patut sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan pelimpahan jasa bila orangtua telah meninggal. Lebih lanjut dalam Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa ayah dan ibu adalah Brahma (makhluk yang luhur), ayah dan ibu adalah guru pertama, ayah dan ibu juga adalah orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya.
Mengingat sedemikian besar jasa serta kasih sayang orang tua terhadap anaknya, maka kewajiban anak di atas sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja, seperti yang telah disebutkan dalam Khuddaka Nikaya 33, yaitu bahwa ‘Penghormatan, kecintaan, dan perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di dunia ini’. Sedangkan dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa ‘Anak yang tidak merawat ayah dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak’. Oleh karena ‘Ibu adalah teman dalam rumah tangga’ (Samyutta Nikaya 163).
Sedangkan tugas orang tua terhadap anak adalah menghindarkan anak melakukan kejahatan, menganjurkan anak berbuat baik, memberikan pendidikan, merestui pasangan hidup yang telah dipilih anak, memberikan warisan bila telah tiba saatnya. Ditambahkan dalam Khuddaka Nikaya 252 bahwa ‘Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan martabat keluarga, serta mempertahankan martabat keluarga, dan tidak mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga; yang menjadi penghancur keluarga’.
Dengan adanya ‘rambu-rambu’ rumah tangga yang diberikan oleh Sang Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan ajaran Sang Buddha tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun dalam bangsa dan negara kita.
[KaDe]

Menjadi Seorang Umat Buddha


 Buddhism And Duties Of A Lay Buddhist
oleh: Ven. K. Sri Dhammananda

AJARAN BUDDHA DAN KEWAJIBAN SEORANG UMAT BUDDHA

Pendahuluan
            Agama Buddha bukanlah agama yang berdasarkan kepercayaan. Agama Buddha adalah agama yang berdasarkan atas moral, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Agama Buddha dihormati oleh dunia karena agama Buddha tidak hanya memberikan pengetahuan yang lebih luas bagi dunia, tapi juga menolak kepercayaan yang membuta.
            Banyak diantara umat Buddha yang berpikir bahwa dengan pergi ke vihara dan mempersembahkan bunga di kaki patung Buddha, menyalakan lilin, serta memasang hio atau membakar dupa berarti selesailah kewajibannya sebagai umat Buddha. Mereka merasa puas karena tugas keagamaannya telah terpenuhi. Tetapi menurut ajaran Buddha, seseorang tidak seharusnya merasa puas dengan hanya berbuat demikian atau mengira dengan melakukan hal-hal seperti itu mereka sudah dapat dikatakan sebagai seorang umat Buddha
            Dengan ajaran sucinya, Buddha tidak menginginkan banyak pengikut yang hanya memuliakan bayangan dirinya saja. Apa yang diinginkannya hanyalah melihat sekelompok masyarakat yang beradab, berbudaya, dan penuh kedamaian serta penuh usaha untuk mencapai Nibbana —Berhentinya roda penderitaan.
            Sayangnya, kita sering melupakan ajaran Sang Buddha yang sangat fundamental ini. Sangat menyedihkan bila kita masuk dalam kelompok orang yang hanya mengikuti upacara-upacara keagamaan saja. Hendaklah kita mengerti dengan jelas bahwa kita menyembah Buddha hanya sebagai tanda penghormatan dan rasa terima kasih, karena Beliaulah yang menemukan Jalan pembebasan tersebut dan sekaligus merupakan Guru kita, yang kita anggap sebagai "Contoh Kesempurnaan". Beliau mengajarkan kepada kita cara menempuh hidup suci dan bahagia pada kehidupan kita yang sekarang maupun yang akan datang. Beliau pulalah yang menemukan jalan suci menuju Nibbana, yang merupakan akhir dari segala penderitaan, dan merupakan satu-satunya jalan abadi menuju pembebasan.
            Berapa kalipun kita menyembah di kaki Buddha, itu bukan satu-satunya cara bagi kita untuk mengikuti jalan hidup seorang Buddha. Tidaklah semudah itu. Untuk menjadi seorang pengikut Buddha yang sejati, orang harus mengikuti ajaran-ajaran dasar Buddha dengan sungguh-sungguh. Mereka yang telah mempelajari dan melaksanakan ajaran Buddha dengan sungguh, akan menyadari bahwa Buddha memiliki banyak sekali ajaran yang agung. Karena itulah, banyak orang yang bukan umat Buddha menganggap bahwa agama Buddha merupakan jalan hidup yang benar.
            Agama Buddha memimpin manusia ke arah perdamaian, pengembangan moral, cara berpikir yang beralasan dan logis. Lebih dari itu doktrin Buddha merupakan satu-satunya sumber yang paling berwenang yang dapat memberikan jawaban yang tepat bagi setiap pertanyaan yang ada di benak manusia. Dan merupakan satu-satunya doktrin yang menjelaskan kenyataan hidup ini dengan gamblang, tanpa terselubung, dan tanpa dilebih-lebihkan, sehingga tidak dapat dibantah kebenarannya.
            Buddha mengajarkan bagaimana manusia menempuh hidup suci, yang dapat kita lihat dalam sutra-sutra seperti Sigalovada, Mangala, Parabhava, Vasala, Vyagghapajja dan lain-lain.
Buku ini merupakan suatu usaha bagi para umat Buddha agar mereka lebih mengerti akan sikap-sikap hidup mereka sebagai umat Buddha.
Semoga saja dengan buku ini kita lebih dapat menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran dari Guru Agung kita.

Agama Buddha Dan Ajarannya
            Agama Buddha adalah agama yang dipeluk oleh sebagian besar penduduk Asia. Terdapat lebih dari lima ratus juta penganut agama Buddha di dunia ini yang jumlahnya mencakup seperempat penduduk dunia.
            Banyak penganut agama Buddha yang tidak menyadari ajaran-ajaran agung guru mereka. Bila seseorang ingin mengikuti ajaran Buddha dengan benar dan ingin disebut sebagai umat Buddha yang baik, maka ia harus mempelajari kehidupan dan ajaran-ajaran Sang Buddha.
            Semua kesulitan dalam hidup ini akan mudah dipecahkan bila kita mempelajari agama Buddha. Pendekatan Buddha mengenai masalah-masalah hidup ini begitu nyata dan ilmiah, sehingga mudah dimengerti.
            Buddha tidak menyimpan pengetahuannya untuk dirinya sendiri dan juga tidak menyuruh para pengikutnya untuk mendengarkan ajarannya saja. Beliau juga tidak menjanjikan akan membawa siapa pun ke surga dengan mudah. Jika sekiranya Beliau berjanji demikian, berarti janjinya palsu. Sebab, seseorang hanya dapat menjadi penghuni surga atau menghindari neraka hanya melalui perbuatannya sendiri. Orang lain hanya dapat menolong dengan menunjukkan jalan untuk diikuti.
Oleh sebab itu Beliau menasehati para pengikutnya untuk mengikuti ajaran-ajaran dan teladan-teladan hidupnya secara murni. Beliau membuktikan pada mereka bahwa apa yang Beliau khotbahkan adalah benar, karena pada akhirnya mereka sendirilah yang akan dapat menikmati hasil dari perbuatan baik mereka. Kenyataan ini yang kemudian dibuktikan ternyata membawa dampak yang baik untuk waktu sekarang dan yang akan datang.
            Buddha mengajarkan cinta kasih dan kebaikan pada semua makhluk dewa, manusia, binatang, dan makhluk-makhluk lainnya —yang disebut sebagai cinta kasih universal. Andai saja Beliau ingin memperoleh kebahagiaan untuk dirinya sendiri, Beliau dapat memperolehnya jauh sebelum Beliau mendapatkan kebahagiaan abadi, yaitu Nibbana. Beliau dapat memperoleh kebahagiaan itu tanpa banyak kesukaran. Tapi Beliau pikir, bila Beliau masuk ke dalam kebahagiaan abadi sendiri, sedangkan masih banyak orang yang menderita, maka Beliau bagaikan seorang ibu menikmati makanan yang lezat, sedangkan anak-anaknya yang kelaparan mencari-cari makanan. Karena rasa kasih sayangnya yang besar pada semua makhluk, akhirnya Beliau menggantungkan dirinya pada penderitaan samsara (lingkaran kematian dan kelahiran) dan mengambil jalan yang lebih panjang dan membahayakan untuk tiba di pantai seberang. Beliau harus menjalani berbagai macam kehidupan dan ujian yang dihadapinya tidak terhitung jumlahnya.
            Rasa kasih sayang Buddha pada semua makhluk begitu besarnya, sehingga ia rela mengalami samsara tanpa ragu-ragu sedikit pun. Bila kita membaca kitab-kitab Buddha, kita bisa mempelajari kenyataan-kenyataan ini. Hanya dengan keteguhan hati, kekuatan dan kebijaksanaan sajalah seseorang dapat berkata, berbuat dan berpikir benar. Dengan latihan yang tekun orang dapat menjadi Buddha bukanlah monopoli orang-orang tertentu saja.
            Anda bisa menjadi Buddha, begitu juga saya. Buddha membangkitkan semangat ini dalam diri mereka yang bercita-cita untuk menjadi Buddha. Walaupun muncul Buddha-Buddha yang tak terhingga jumlahnya, tapi masih akan ada juga manusia yang tidak beruntung yang tidak menempuh jalan untuk mencapai Nibbana yang kekal, karena ketidak-tahuan (kebodohan) mereka terlalu sulit untuk mereka tembus.
            Kita masing-masing mempunyai benih semangat Buddha di dalam diri kita. Benih itu tidak akan tumbuh mekar sepenuhnya apabila kita mengabaikannya. Kita harus mengambil langkah-langkah untuk menanam semangat ini sampai mencapai kesempurnaan dan dimahkotai dengan KeBuddhaan.
            Sekarang bagaimana caranya agar benih semangat Buddha itu tumbuh menjadi pohon yang kuat yang akan menghasilkan buah KeBuddhaan? Sama seperti tanaman lain yang butuh perawatan, begitu pula hendaknya benih tersebut disiram dan diberi pupuk perbuatan-perbuatan baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang. Jika ini kita lakukan terus-menerus, maka akan tibalah saatnya kita memperoleh keberhasilan yang gemilang dari semua jerih payah kita.
            Meskipun demikian bukanlah hal yang mudah untuk menjadi Buddha. Buddha ialah ia yang memiliki kebijaksanaan sempurna, cinta kasih yang universal, serta kebajikan yang tanpa batas. Buddha ialah orang yang dapat mengerti sepenuhnya semua aspek dari berbagai macam masalah-masalah hidup dan juga peristiwa-peristiwa yang berhubungan antara kehidupan sebelum sekarang maupun sesudah kehidupan ini. Beliau mampu berkhotbah dan meyakinkan orang-orang lain akan cara mencari pemecahan atas persoalan-persoalan mereka.
            Karena begitu sukarnya memperoleh sifat KeBudhaan ini, maka ada hanya satu Buddha saja di dunia ini dalam waktu yang lama. Karena itu ajaran seorang BUddha akan dilupakan dan berubah-ubah di dunia ini pada waktu Buddha berikutnya muncul. Karenanya merupakan suatu tugas yang sangat berat bagi seorang Buddha untuk mencapai penerangan sempurna dengan usahanya sendiri. Tak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk kepadanya bagaimana cara berpikir yang benar yang dapat membawanya menuju pengetahuan sempurna. Hanya melalui perjuangan yang berat untuk mendapatkan penerangan atau pengetahuan sempurna inilah seseorang dapat menjadi Buddha dan dapat tampil ke dunia untuk mengungkapkan kebenaran.
            Manusia hidup dalam kegelapan, tanpa mengetahui mana yang benar dan mana yang salah. Mereka bergulat dalam kehidupan yang penuh kelaliman. Mereka mengira bahwa kenikmatan yang mereka peroleh di dunia ini abadi, walaupun kenyataannya tidak. Karena tidak mengerti akan kenyataan inilah, maka manusia makin lama makin terjerumus ke dalam kesenangan singkat, diperbudak olehnya, dan akhirnya menjadi buta terhadap kenyataan.
            Dan jika hal ini dijelaskan pada mereka, mereka hanya akan menutup telinga. Akhirnya dalam waktu yang singkat batin mereka tak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sampai-sampai mereka dengan berani berkata, Aku melakukan apa yang kuanggap benar.
Jika semua orang mengikuti cara seperti itu, apa jadinya dunia ini kelak? Dalam sekejap saja, kebajikan akan hilang dari dunia ini dan akhirnya kejahatan yang berkuasa sehingga terjadi kekacauan dan kesedihan yang luar biasa.
            Pada permulaan keadaan seperti itulah seorang Buddha dilahirkan ke dunia dan ia memperbaiki dunia untuk sementara waktu. Sesudah beberapa waktu lagi-lagi kejahatan dan hal itu terus berlangsung tanpa ada yang memperbaiki keadaan, bahkan seorang Buddha tidak akan muncul karena dunia yang jahat tidak siap untuk menerima ajaran-ajaran yang baik. Dunia yang sudah dikendalikan oleh kejahatan ini harus menghadapi kehancuran dahulu sebelum dunia yang lebih baik muncul.
            Bijaksana di antara mereka yang bodoh, teguh di antara mereka yang berpendirian lemah, sabar di antara mereka yang tidak sabar, tenang di antara mereka yang dikuasai hawa nafsu, baik di antara mereka yang jahat adalah beberapa hal yang hampir-hampir tidak bisa dicapai di dunia ini. Tapi nyatanya, kepribadian-kepribadian yang unik ini ada dalam diri para Buddha dan banyak pula sifat-sifat baiknya yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Dan bila keadaan memungkinkan, maka akan datang lagi Buddha-Buddha lain dengan kebenaran mereka.
            Kita harus menanam sifat-sifat baik di dalam diri kita mulai sekarang, agar kita dapat lahir kembali di dunia ini pada waktu Sang Buddha muncul. Memang untuk dilahirkan kembali dalam keadaan demikian tidaklah mudah, oleh karenanya sejak saat ini kita harus berusaha dengan kemauan keras dan tenang yang ada untuk menanamkan sifat-sifat baik tersebut.
            Sebagai pembimbing perjalanan hidup kita yang makin maju ini, kita harus memanfaatkan pengetahuan yang telah diberikan kepada kita oleh Buddha Gautama yang hidup 25 abad yang lalu. Pengetahuan tersebut sampai kepada kita melalui pengikut-pengikutnya yang setia generasi demi generasi. Jalan yang ditunjukkan oleh Buddha ini agak bebas dari bahaya dan bermanfaat bagi mereka yang melangkah di atasnya ataupun berdiri di sisinya.
            Jalan kehidupan spritual ini oleh para pemula memang terasa sulit, tetapi bila kita sudah melangkah setapak saja, dengan menggunakan tenaga yang ada dan sedikit pengetahuan yang kita miliki, maka separuh kesulitan sudah teratasi. Kita harus ingat bahwa puncak Himalaya ditaklukkan tidak hanya dengan satu langkah, tetapi dengan langkah-langkah yang berkesinambungan dan dengan mengatasi berbagai macam
            Kesulitan yang tidak kecil. Begitu pula, untuk mencapai Nibbana, seseorang harus bekerja keras selangkah demi selangkah sampai tujuannya tercapai.
            Tak seorang pun dapat mencapai tujuan tersebut dalam satu kehidupan betapa lamanya pun ia hidup. Bagaimanapun tujuan itu barulah dapat dicapai setelah melalui banyak kehidupan, sehingga perlu bagi seseorang untuk mengumpulkan kebajikan-kebajikan dalam hidupnya agar dapat mencapai tujuan akhir. Samudera-samudera luas merupakan tetesan-tetesan air yang berkumpul menjadi satu. Begitu pula KeBuddhaan merupakan kumpulan-kumpulan besar dari segala sesuatu yang baik, dengan kata lain lepas dari setiap kejahatan.
            Dalam perjalanan menuju tujuan tertingginya ini, sesudah hidup berkali-kali dalam jangka waktu yang lama, mungkin saja seseorang dapat bertemu muka dengan Buddha. Bila saat ini tiba, maka ini berarti bahwa orang tersebut telah penuh dengan kebajikan-kebajikan yang dikumpulkannya. Dan andaikan ia memilih untuk menjadi pengikut Buddha, maka ia akan dapat memperoleh penerangan sebagai pengikut Buddha.
            Hal ini sudah pasti dengan mengabaikan segala penderitaan duniawi, tetapi bila seseorang mendambakan kebebasan dari samsara (lingkaran kelahiran dan kematian) akan dapat memperoleh tujuan yang didambakannya, yaitu Nibbana —Kebahagiaan abadi.

Kewajiban-kewajiban Seorang Umat Buddha
            Menurut ajaran Buddha terlahirnya kita sebagai manusia merupakan hal yang sangat membahagiakan. Itu berarti kita diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan benar agar dapat memutuskan roda samsara. Kita menyadari bahwa keberadaan kita sebagai manusia merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan baik kita. Kita juga tahu bahwa setiap perbuatan (karma) mempunyai efek-efek yang saling bertalian.
            Dengan karma dunia ini berputar, dengan karma manusia hidup, dan karma pulalah yang mengikat manusia.
            Kita berlindung pada Buddha, Dhamma, dan Sangha karena kita merasa yakin bahwa di bawah tiga perlindungan ini, kita merasa aman, bebas dari bahaya, ketakutan dan kekotoran yang dapat membawa kita pada tujuan-tujuan jahat. Dengan Sang Buddha sebagai pembimbing yang ideal, Dhamma sebagai rakit yang dapat menyeberangi samudera samsara, dan Sangha sebagai sawah yang bisa ditanami dan diambil hasilnya pada saat panen, kita menuju jalan hidup yang benar dan melaksanakan kewajiban kita sebagai seorang umat Buddha dengan penuh perhatian dan dengan menghormati hukum kosmos kehidupan, yaitu karma.
            Hendaknya kita menghindari sepuluh perbuatan jahat yang dapat dilakukan oleh tubuh, ucapan, maupun pikiran. Kita berusaha melatih diri untuk menghindari pembunuhan, pencurian, dan perbuatan asusila. Melatih diri dalam ucapan untuk tidak berdusta, memfitnah, bicara kotor dan bicara yang sia-sia. Kita juga hendaknya menyadari bahwa perbuatan jahat akan mengakibatkan penderitaan bagi pelakunya.
            Kita tahu bahwa kita membunuh, maka kita akan mengalami hidup yang singkat, penyakit, kesedihan karena terpisah dari orang-orang yang kita cintai, dan juga akan terus hidup dalam ketakutan. Kita pun tahu bahwa bila kita mencuri, maka kita akan mengalami kemiskinan, penderitaan dan segala keinginan kita tidak akan tercapai Kita menghindari perzinahan, karena itu akan membuat kita mendapat musuh-musuh dan kehidupan yang sengsara. Kita berhenti berdusta, karena dengan berdusta nama baik kita akan tercemar.
            Kita juga tidak menginginkan kekayaan orang lain dan tidak akan berpikir, Kalau saja itu menjadi milikku. Kita tidak membenci siapapun, karena kebencian akan membuat kita berwajah jelek, berpenyakit, dan akan hidup selamanya dalam penderitaan.
            Kita juga menghindari pandangan salah dan berusaha melakukan banyak kebajikan dengan berdana, hidup bermoral, bermeditasi, menghormati sesama, bersikap ramah tamah, membagi kebahagiaan pada orang lain, dan bersukacita dengan kebahagiaan orang lain. Kita pun hendaknya senang mendengarkan Dhamma yang akan memperkuat usaha kita dalam melaksanakan pandangan hidup yang benar.
            Bagi umat awam, Sang Buddha juga menganjurkan agar melakukan hal-hal tersebut di atas, karena akan membawa berkah. Ia yang rajin berdana, akan memperoleh kekayaan, sedangkan hidup bermoral akan membuatnya lahir di keluarga terpandang dan dalam keadaan yang penuh bahagia. Dengan meditasi ia akan memperoleh pengetahuan yang tinggi. Dengan menolong orang-orang lain, ia sendiri akan banyak ditolong. Bersukacita karena melihat perbuatan orang lain yang suka menolong, akan memberinya sifat gembira pada kelahirannya kelak. Dengan mendengarkan Dhamma ia akan menjadi bijaksana, sedang sikap mau memenuhi kebutuhan orang lain akan memberikannya kemakmuran. Meneguhkan keyakinan akan pandangan hidup yang benar akan memberinya kebahagiaan dan pembebasan terakhir.
            Dia memandang semua kehidupan ini sebagai tempat persinggahan, tidak memuaskan, dan tanpa jiwa yang kekal. Dalam kehidupan sehari-harinya dia mencoba untuk mengerti bagaimana kebenaran ini dapat berperan, bagaimana segala sesuatu di dunia ini terus berubah, betapa sedikit kita dapat mengkontrolnya, betapa semua kenikmatan yang kita rasakan akan berakhir dengan kepedihan, dan kondisi muda akan berubah menjadi tua, dan akhirnya betapa hampanya hidup ini. Dengan menyadari akan tiga corak umum dalam hidup ini yaitu Anicca, Dukkha, dan Anatta, dia memandang hidup ini sebagai sesuatu yang tidak kekal. Dia juga melihat alam semesta dengan segala isinya sebagai satu obyek tunggal dimana semua makhluk pada hakikatnya adalah sama.
            Oleh sebab itu, dalam menjalani kehidupan ini, hatinya penuh dengan cinta kasih dan welas asih (Karuna) terhadap segala sesuatu yang menderita. Seperti seorang ibu yang rela mengorbankan jiwanya untuk melindungi putranya yang tunggal, begitu jugalah ia memancarkan cinta kasih dan welas asihnya pada semua makhluk tanpa mengenal batas dan perbedaan. Dengan didorong oleh semangat cinta kasih inilah, hidupnya yang singkat ini akan bermanfaat dan berguna bagi semuanya, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
            Bagi orang-orang yang berumah tangga, Sang Buddha juga menganjurkan agar melatih diri dalam menghindari sepuluh perbuatan jahat. Mereka juga hendaknya tidak berat sebelah, tidak bermusuhan dan berusaha mengembangkan cinta kasih, kesabaran, dan kebijaksanaan dalam setiap tindakannya.
            Keberhasilan seorang umat, sangat tergantung pada kekayaan dan keuangannya. Sang Buddha juga mengatakan bahwa penting bagi seorang kepala keluarga untuk memiliki kekayaan di samping anak dan istri, pelayan dan pekerja. Semua ini harus diperoleh dengan jalan yang benar dan untuk semuanya ini dia harus menjalani kehidupan yang benar, menghindari penipuan, penghianatan, berkata benar, dan dia juga harus menghindari kelima komoditi perdagangan seperti: senjata, manusia, hewan, minuman keras dan racun. Jadi perdagangan yang boleh dilakukan ialah yang tidak mencederai orang atau makhluk lain. Dia mencari nafkah seperti seekor lebah yang mengumpulkan madu. Sang Buddha juga menganjurkan agar dalam berusaha hendaknya dia membagi pendapatannya menjadi empat bagian sebagai berikut:
            Biarkan dia membelanjakan yang satu bagian dan menikmati buahnya. Yang dua bagian untuk usaha yang sedang dijalankannya, sedangkan bagian yang keempat digunakan untuk masa depannya, agar bisa digunakan bila diperlukan kelak.
            Jadi seorang kepala keluarga yang baik akan menyisihkan seperempat bagian pendapatannya untuk keperluannya sendiri, dua perempat untuk usahanya, dan seperempatnya lagi untuk keadaan darurat bila diperlukan. Dia akan menghindari dirinya dari kegiatan yang dapat menghabiskan kekayaan yang dicarinya dengan menghabiskan kekayaan yang dicarinya dengan susah payah. Oleh sebab itu dia harus menghindari kegiatan seperti: terlibat dengan minuman keras, berada di jalan pada waktu yang tidak pantas, menonton pertunjukan-pertunjukan yang tidak pantas, berjudi dan bergabung dengan orang-orang jahat lagi malas.
            Sang Buddha juga menganjurkan supaya umat meringankan beban orang tuanya, guru, istri, anak-anaknya, sahabat, pelayan, pekerja serta guru agamanya. Putra-putrinya harus menyadari bahwa karena orang tuanya mereka bisa berada dalam keadaan seperti sekarang. Oleh sebab itu adalah tugas mereka untuk memberi kepada orang tua mereka makanan, pakaian, obat-obatan dan segala sesuatu yang dapat membuat hidup ini lebih mudah dan lebih menyenangkan selama mereka hidup.
            Sang anak harus melaksanakan tugasnya, yaitu merawat orang tua mereka dalam usia lanjut dengan penuh perhatian. Mereka juga harus mempertahankan keturunan, tradisi dan bahkan menjaga nama baik keluarganya. Begitu pula orang tua yang dilayani anak-anaknya harus berbuat kebajikan dan bersikap lemah lembut dengan mengusahakan agar anak-anaknya juga berbuat kebajikan, melatih mereka dalam berdagang dan segala keahlian, menentukan agar perkawinan mereka dilaksanakan dalam usia yang pantas, dan menyerahkan semua perusahannya serta warisannya apabila saatnya tiba.
            Murid harus menghormati guru mereka dan bangkit dari tempat duduknya untuk menunjukkan rasa hormat. Mereka harus menunjukkan kemauan untuk belajar dan memberikan pelayanan. Mereka harus menerima dan mengikuti segala instruksi yang diberikan. Sebaiknya guru juga melatih muridnya dengan benar mengenai apa yang mereka ketahui dan membuat mereka mahir dalam berbagai macam ilmu. Mereka tidak boleh memburuk-burukkan muridnya di antara sesama temannya dan mereka harus melindungi muridnya dari bahaya.
            Sang suami harus menghormati istrinya, memberikan hak untuk melakukan keinginannya di rumah. Setia pada istrinya dan memperlakukan istrinya dengan cinta kasih. Istrinya harus diberi kebebasan untuk mengatur rumah tangga dan dilengkapi dengan perhiasan. Sebaiknya sang istri juga harus mengasihi suaminya dan melaksanakan tugasnya. Dia harus bersikap ramah terhadap suaminya, selalu berterima kasih atas pemberian-pemberian suaminya dan melindungi kekayaannya. Di samping itu dia juga harus mempelajari seluk-beluk usaha suaminya dan membantunya.
            Lebih jauh lagi, seorang kepala keluarga juga harus melayani keluarganya dan juga sahabatnya dengan murah hati, ramah tamah dan penuh kebajikan. Dia harus memperlakukan mereka sama seperti dia memperlakukan dirinya sendiri dan dia harus menepati janjinya. Sebaliknya, keluarganya dan temannya juga harus menunjukkan cinta kasih terhadapnya. Melindungi kekayaannya dan dalam bahaya mereka harus melindunginya dan bukan meninggalkannya.
            Seorang kepala keluarga juga harus memberikan pekerjaan pada pembantunya yang sesuai dengan kemampuannya. Memberikan mereka makanan, gaji dan merawat mereka bila mereka sakit. Dia juga harus memberikan waktu istirahat dan mengizinkan mereka untuk mendapatkan liburan pada hari-hari besar dengan tetap mendapat gaji. Seorang majikan yang baik juga membagi kebahagiaan pada para pembantunya. Sebaliknya si pembantu juga harus membiasakan dirinya untuk bangun lebih dulu dari majikannya, melakukan tugas yang diberikan padanya dan beristirahat sesudah majikannya beristirahat. Mereka harus selalu merasa puas dan memuji majikannya.
            Seorang kepala keluarga juga wajib melayani para bhikkhu, membuka pintu rumah untuk mereka dan memenuhi kebutuhan insidentil mereka. Sebaliknya para bhikkhu harus menjauhkan dia dari kelaliman dan mendorong dia untuk melakukan perbuatan baik, memberikan khotbah mengenai Dhamma, dan membawa dia untuk mengikuti jalan pembebasan serta menyampaikan ajaran mengenai cinta kasih dan kebijaksanaan.


Judul Asli "Buddhism And Duties Of A Lay Buddhist", Buddhist Missionary Society, Kuala Lumpur, Malaysia.
 Alih Bahasa : Wina Komari, Dikutip dari Sasana Online