Kamis, 16 Juni 2011

Cerita Jataka "PERTENGKARAN Dl KOSAMBI".

5.   PERTENGKARAN Dl KOSAMBI.

Tetapi yang lain tidak mengerti…………",  Ajaran Dhamma ini diberikan oleh Sang Buddha ketika beliau berdiam di  Jetavana  sehubungan dengan bhikkhu- bhikkhu dari Kosambi.

a.                  Pertengkaran Antara Para Bhikkhu.

Dalam vihara Ghosita di Kosambi berdiamlah dua orang bhikkhu yang masing-masing mempunyai murid sebanyak lima ratus bhikkhu. Dari kedua bhikkhu tersebut seorang adalah ahli tentang Vinaya dan yang lainnya pintar tentang Dhamma. Pada suatu hari bhikkhu yang pintar dhamma, setelah membuang air-besar ia meninggalkan sedikit air bekas ia gunakan di bak. Sesudah itu bhikkhu yang pintar vinaya (vinayadhara) masuk ke kakus dan melihat air tersebut. Ketika ia keluar ia bertanya kepada temannya itu : "Bhante, apakah kau yang meninggalkan air di dalam bak itu ?"
"Ya, bhante."
"Tetapi apakah kau mengetahui bahwa kau telah melakukan pelanggaran (apatti) ?"
"Sungguh saya tidak tahu."
"Tetapi itu adalah suatu pelanggaran, bhante."
"Baiklah kalau begitu, saya akan menyelesaikannya."
"Tentu saja, bhante, bila kau melakukannya tanpa kehendak (acittakka), tanpa perhatian, maka hal itu tidak salah."
"Demikianlah maka bhikkhu yang pintar Dhamma ( Dhammadhara) melihat kesalahan tersebut sebagai bukan salah.
Tanpa perduli Vinayadhara berkata kepada murid-muridnya :
"Dhammadhara itu, walaupun telah apatti (melanggar), ia tidak menyadarinya." Mereka bertemu dengan murid-murid Dhammadhara dan berkata: "Upajjhayo kamu, walaupun telah apatti tetap tidak menyadarinya."
Murid-murid Dhammadhara pergi melaporkan hal ini kepada Upajjhaya mereka. Guru Dhammadhara berkata : "Dulu pengikut-pengikut Vinayadhara berkata 'bahwa itu tidak salah, tetapi sekarang berkata itu salah. ' "la adalah seorang pembohong." Murid-murid Dhammadhara pergi dan berkata : "Guru kamu adalah pembohong."
Dengan begitu maka terjadi pertengkaran antara kedua kelompok bhikkhu. Murid-murid Vinayadhara mencari-cari kesempatan dan mengatakan kata-kata yang tidak bersahabat untuk menuduh Dhammadhara telah gagal menyadari kesalahannya. Demikian pula umat penyokong mereka terbagi menjadi dua kelompok. Begitu pula dengan para bhikkhuni. yang dibimbing oleh mereka, para devata pelindung, teman-teman, akasa devata sampai kealam Brahma, semua mahluk walaupun mereka tidak kelihatan membentuk dua kelompok. Pertengkaran ini merambat atau menjalar dari devata Catumaharajika sampai ke alam Brahma.
Kemudian seorang bhikkhu datang pada Sang Buddha, dan menceritakan pada Beliau bahwa mereka yang mengucapkan kata-kata yang tidak bersahabat berpendapat bahwa bhikkhu-bhikkhu telah terpecah menjadi dua kelompok berdasarkan vinaya; sedangkan bhikkhu yang lain berpendapat bahwa mereka terpisah karena melanggar vinaya, dan mengumpulkan pengikut-pengikutnya, walaupun sesungguhnya mereka yang mengucapkan kata-kata tidak bersahabat tersebut melarang pihak lainnya berbuat demikian. Dua kali Sang Buddha menyuruh mereka bersatu, tetapi mendapat jawaban, "Bhante, mereka tidak mau bersatu. Untuk ketiga kalinya Sang Buddha berkata : "Sańgha  bhikkhu pecah ! Sańgha  bhikkhu pecah !" Setelah berkata Beliau mendatanji mereka dan menunjukkan kesalahan- kesalahan yang telah dibuat mereka yaitu dengan mengucapkan kata-kata yang tidak bersahabat; demikian pula mereka yang telah gagal memperhatikan Uposatha dan Sańgha Kamma (upacara para bhikkhu) sesuai dengan batas-batas lingkungan tempat pelaksanaannya (sima), dan memberi peraturan-peraturan bagi mereka yang bertengkar diwaktu makan dan ditempat mana saja, supaya bila duduk, maka duduklah terpisah.
Karena mereka masih bertengkar terus maka Beliau datang dan memberikan khotbah yang dimulai dengan : "Cukup, O bhikkhu. Jangan bertengkar I" sambungnya' O, para bhikkhu, pertengkaran, berlawanan, keributan dan perpecahan adalah tidak berguna pertengkaran walaupun hanya seperti pasak kecil saja dapat mematikan seekor gajah perkasa." Lebih lanjut Sang Buddha menceriterakan Jātaka Latukika ( 3577. iii. 174 — 177 ). Lalu berkata : "Para bhikkhu haruslah bersatu, jangan suka bertengkar. Karena pertengkaran, banyak burung Vaţţaka mati." Dan Beliau menceriterakan Vaţţaka Jātaka, { 33: 1, 208 - 210 ) tentang Vattaka.
Tetapi mereka tidak memperhatikan kata-kata Beliau, lalu seorang guru petapa yang mengiginkan supaya Sang Tathāgata terbebas dari gangguan tersebut berkata kepadaNya : "Bhante, sebaiknya Tathāgata, diam ditempat saja. Bhante, sebaiknya Tathāgata hidup dengan tenang didunia ini. Kita akan terlibat dan terganggu oleh pertengkaran, keributan, perlawanan dan perpecahan." Karena itulah Sang Buddha menceriterakan ceritera yang lampau sebagai berikut :
"0, Para bhikkhu, dahulu ketika raja Brahamadatta dari Kāsi memerintah di Benares, ia berperang melawan Dīghati Kosala, merampas kerajaannya dan membunuhnya sewaktu ia hidup dalam penyamaran. Pangeran Dîghavu, putera Raja Dīghati, walaupun mengetahui bahwa Brahmadatta adalah pembunuh ayah nya, membiarkan ia hidup terus, dan akhirnya mereka hidup secara damai. O, bhikkhu, tersebutlah karena kesabaran dan keluhuran budi raja-raja ini mereka tidak menggunakan perang. Demikian pula kamu sekalian, O, para bhikkhu telah meninggalkan kehidupan keduniawian untuk melaksanakan Dhamma dan Vinaya yang telah dibabarkan dengan sebaik-baiknya, bercahayalah kamu di dunia ini bagaikan orang yang dikenal sabar dan berbudi luhur." Demikianlah Sang Buddha menasehati mereka. Tetapi walaupun Beliau telah menasehati, mereka belum mau untuk bersatu. Karena keadaan dimana beliau berada dalam situasi yang ribut dan tidak tenang, beliau berpikir: "Keadaan dimana saya berada sekarang adalah kacau, ribut serta tak tenang. Lagi pula para bhikkhu ini tidak memperhatikan apa yang saya katakan. Bila demikian maka saya akan mengundurkan diri dulu dari lingkungan kesibukan-kesibukan ini ketempat yang tenang.
Setelah piņdapātta di Kosambi dan tanpa memberitahukan kepada bhikkhu-bhikkhu tersebut, beliau mengambil patta dan civaranya (jubah), pergi seorang diri ke desa Balaka, pembuat garam, ditempat ini beliau mengajarkan tentang kehidupan damai kepada Bhagu Thera, selanjutnya Beliau ke Pacinavamsamigadaya, disini beliau mengajarkan kebahagiaan dan manfaat dari persatuan kepada tiga orang pemuda; dari tempat itu beliau ke Pārileyyaka, Di suatu tempat di bawah pohon Sāla yang rimbun, di hutan Palavanna dekat Pārileyyaka, Sang Budha menyelesaikan masa vassa-Nya dengan tenang dan damai, dibantu oleh gajah Pārileyyaka.
Ketika para umat di Kosambi datang ke vihara dan tidak menjumpai Sang Buddha, mereka bertanya : "Bhante, kemanakah Sang Buddha pergi ?"
"Ke hutan Pārileyyaka."
"Apakah sebabnya ?"
"Beliau mengusahakan supaya kami bersatu, tetapi kami tidak mau."
"Bhante, setelah bhante sekalian ditahbiskan menjadi bhikkhu (di upasampada) oleh Beliau kamu menolak untuk melaksanakan apa yang beliau ajarkan untuk dilaksanakan ?"
"Benar, upāsaka-upāsika."
Umat-umat berkata : "Bhikkhu-bhikkhu ini telah di upasampada kan oleh Guru menjadi bhikkhu, tetapi tidak mau menyelesaikan persoalan mereka ketika Guru menyarankan mereka melaksanakan anjuranNya. Karena salah merekalah maka kita tidak melihat Guru lagi. Bagi bhikkhu-bhikkhu ini kami tak mau menghormat, tak mau memberikan keperluan-keperluannya maupun mengundang mereka. Dan sejak itu para umat memperlihatkan sikap yang tak memperdulikan mereka lagi.
Para bhikkhu sulit sekali mendapatkan makanan sehingga mereka hampir-hampir mati kelaparan, dan itu hanya dapat mempertahankan ketenangan mereka beberapa hari saja. Akhirnya mereka saling mengakui kesalahan masing-masing, serta saling memaafkan, lalu berkata : "Upāsaka - upāsika sekalian, kami telah bersatu kembali seperti semula."
"Bhante, apakah bhante sekalian telah meminta maaf kepada Sang Buddha ?"
"Belum, kami belum meminta maaf kepada Beliau, upāsaka-upāsaka."
"Baiklah kalau demikian, minta maaflah kepada Sang Buddha, dan segera Sang Buddha akan memaafkan bhante sekalian, maka kami akan bersikap seperti semula pula."
"Tetapi karena masa vassa belum selesai, maka mereka belum dapat menemui Sang Buddha, sehingga mereka menghabiskan masa dengan menderita sekali. Tetapi bagi Sang Buddha, Beliau ber-vassa dengan menyenangkan sekali dibantu oleh seekor gajah. la adalah binatang perkasa, meninggalkan kelompoknya untuk mendapatkan kebebasan. Ceriteranya seperti yang tersebut berikut ini :

b.         Sang Buddha, Gajah dan Kera.

Disinilah saya hidup, dikelilingi oleh gajah-gajah, gajah betina, gajah muda dan anak-anak gajah. Mereka makan pucuk-pucuk dahan, rumput-rumput yang akan saya makan, mereka makan setiap dahan-dahan yang saya patahkan, mereka mengotori dengan lumpur air yang akan ku minum, gajah-gajah betina menggosok-gosok tubuhku. Sebaiknya saya memisahkan diri dan hidup sendiri.
Selanjutnya gajah perkasa ini memisahkan dirinya dari kelompoknya dan datang ke hutan Pālavanna, dekat Pārileyyaka, di bawah pohon rindang di mana Sang Buddha berada. Mendekati Sang Buddha, menghormati beliau, setelah itu ia mencari sapu di sekitarnya,dan melihat tidak ada sapu di sekitarnya, ia mematahkan cabang bawah dari pohon Sāla, membuang daun-daunnya dengan belalainya dan dengan cabang yang banyak rantingnya itu, ia menyapu tanah di sekitar tempat itu.
Lebih lanjut ia mengambil tempat air dengan belalainya dan pergi mencari air. Bila air panas dibutuhkan, ia menyediakan air panas tersebut. (Bagaimanakah hal ini terjadi ?) Lebih dahulu ia membuat latukan api dekat batu-api, dan mengaduk-adukkan batu tersebut dengan belalainya, setelah itu ia menimbun latukan api dengan dahan-dahan kering, dengan demikian ia mendapat api. Pada api tersebut ia memanaskan batu-batu kecil, kemudian batu-batu panas ini dia gulingkan dengan kayu yang dijepit oleh belalainya dimasukkan kedalam cekungan-cekungan batu yang berisi air, memeriksa air itu bila telah panas dengan belalainya, setelah itu ia pergi memberi tahu kepada Sang Buddha. Sang Guru bertanya : "Apakah air telah hangat Pārileyyaka .?" dan pergi ketempat tersebut untuk mandi. Sesudah itu gajah pergi mencari buah-buahan hutan, membawa buah-buahan tersebut dan memberikannya kepada Sang Buddha.
Bilamana Sang Buddha mau masuk desa untuk pindapata, ia mengambil pata dan civara, meletakkanya diatas kepalanya dan pergi menyertai Sang Buddha. Ketika Sang Buddha telah mefidekati batas desa, beliau memanggilnya untuk menerima patta dan civaranya serta berkata : "Pārileyyaka, kau tidak saya izinkan untuk maju lebih lanjut lagli dari pada tempat ini, berikan patta dan civaraku." Sewaktu Sang Buddha masuk kedalam desa, gajah menunggu di tempat itu sampai Beliau kembali. Ketika Sang Buddha kembali, ia maju untuk mengambil patta dan civaranya seperti yang ia lakukan tadi, ia membawanya ke tempat Sang Guru berdiam. menghormat beliau sebagaimana biasanya dan mengipasi Beliau dengan cabang-cabang berdaun. Diwaktu malam, untuk menjaga keamanan dari gangguan-gangguan binatang-binatang buas, ia mengambil batang kayu yang cukup besar dan berkata pada dirinya : "Saya akan melindungi Sang Buddha," dengan berjalan bolak-balik diantara pohon-pohon hutan sampai fajar menyingsing. (Sejak itulah hutan ini dinamakan Pālavanna = Hutan Pelindung ). Ketika matahari telah terbit, gajah memberikan air kepada Sang Buddha untuk mencuci muka, dan selanjutnya melakukan perbuatan- perbuatan yang diceriterakan diatas pula.
Sementara itu, seekor kera selalu melihat perbuatan gajah setiap hari melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil untuk Sang Buddha, dan ia berkata pada dirinya : "Saya akan melakukan sesuatu juga." Pada suatu hari, selagi ia berjuntai-juntai diatas pohon, ia melihat segumpalan madu melekat didahan dan tak ada lebahnya. la mematahkan dahan itu, membersihkan madu diatas daun dan memberikannya kepada Sang Buddha. Sang Buddha menerimanya. Kera menunggu, untuk melihat apakah Beliau akan memakannya atau tidak. Dilihatnya, setelah Sang Buddha menerima madu tersebut, duduk tanpa memakannya. "Apakah sebabnya demikian," pikirnya. la memegang bagian ujung dari kayu, memeriksa dengan membalik-balikkan itu secara hati-hati. Akhirnya ia menemukan ada sebutir telur serangga disitu. la mengeluarkan telur itu dengan hati-hati, lalu memberikan kembali madu itu kepada Sang Buddha. Dan Beliau memakannya.
Kera sangat gembira sekali, ia melompat berayun-ayun dari dahan satu ke dahan yang lain dengan riangnya. Tetapi dahan yang ia tangkap, pegang dan injaki patah, ia jatuh mengenai batang pohon yang tajam, badannya tertusuk, ia mati. Karena perbuatan baiknya kepada Sang Budha ia punabbhava atau terlahir kembali di alam Tavatimsa ( Surga ) sebagai devata, tinggal di istana emas seluas tiga puluh yojana disertai seribu bidadari.
Telah tersiar berita bahwa Sang Buddha berada di Palavanna, di bantu oleh seekor gajah perkasa. Upāsaka Anāthapiņdika, upāsika Visakha serta umat lainnya di kota Savatthi mengirimkan permohonan kepada Ananda Thera sebagai berikut : "Bhante, usahakanlah bagi kami supaya dapat bertemu dengan Guru." Begitu pula dengan lima ratus bhikkhu dari daerah lain mendatangi bhikkhu Ananda Thera serta bermohon : "Ananda, telah lama kami tidak mendengar khotbah yang diberikan langsung oleh Sang Buddha. O, Ananda, bila anda tidak keberatan, kami mau mendengar khotbah dhamma langsung dari mulut Sang Buddha sendiri.
Akhirnya, Ananda Thera membawa bhikkhu-bhikkhu tersebut bersamanya ke Palavanna. Ketika ia tiba di hutan, ia berpikir: "Sang Tathagata berdiam dengan tenang selama tiga bulan. Adalah tidak tepat bila saya datang bersama sama dengan bhikkhu sebanyak ini. Maka ia meninggalkan para bhikkhu itu di tepi hutan, dan ia sendiri mendatangi tempat Sang Buddha. Ketika gajah Pārileyyaka melihat bhikkhu Ananda datang, segera ia mengambil kayu dan berlari kearah Ananda Thera. Sang Buddha melihat sekeliling dan berkata kepada gajah : "Kembalilah Pārileyyaka, jangan mengusirnya, ia adalah pembantu Tathagata." Segera ia membuang kayu pemukul, dan mohon diberikan kesempatan untuk membawakan patta dan civara Ananda Thera. Ananda Thera menolak. Gajah berpikir, bila ia mengerti aturan, maka ia takkan meletakkan patta dan civaranya di tempat Sang Buddha biasa duduk." Ananda Thera meletakkan patta dan civaranya di tanah (Bagi mereka yang tahu akan peraturan Vinaya, tidak akan pernah meletakkan alat-alat kebhikkhu-annya diatas tempat duduk atau tempat tidur dari bhikkhu yang lebih tua). Ananda Thera setelah menghormat dengan bernamaskara kepada Sang Buddha, lalu duduk disalah satu sisi.
Sang Buddha bertanya kepadanya : "Apakah kau datang sendiri?"
Ananda memberitahukan bahwa ia datang bersama lima ratus bhikkhu.
"Dimanakah mereka berada sekarang ?" tanya Sang Buddha.
"Saya tidak tahu bagaimana pendapat Bhante, maka saya tinggalkan mereka diluar hutan dan saya datang kemari sendiri."
"Panggillah mereka kemari."
Ananda Thera melaksanakannya. Kemudian para bhikkhu berkata kepada Sang Buddha: "Bhante, Tathagata adalah Buddha yang lembut, Pangeran yang hidup dalam kehalusan. Bhante mesti menderita, berdiri dan duduk disini selama tiga bulan. Sebab disini tak ada seorangpun yang membantu melakukan pekerjaan besar maupun kecil, tidak ada seorangpun yang memberikan air untuk cuci muka maupun untuk mandi, ataupun untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain-lainnya."
"0, bhikkhu, gajah Pārileyyaka lah yang melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut bagi KU. Bagi siapa yang mendapat pembantu demikian dapat hidup sendiri, bila gagal mendapat pembantu demikian maka kehidupan tenang adalah lebih baik pula baginya. Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan gatha yang terdapat dalam  Nāga Vagga ( Dhammapada ) :

328.         "Bilamana seseorang mendapat teman yang bijaksana dan bekerja sama, maka hidup baik, tenang, gembira dan dapat mengatasi semua marabahaya."

329.         "Bilamana seseorang mendapat teman yang bijaksana dan bekerja-sama dengannya, maka ia bagaikan meninggalkan kerajaan yang ditaklukkannya; ia dapat hidup sendiri seperti gajah yang mengembara dengan bebasnya dalam hutan."

330.         Lebih baik hidup menyendiri dari pada berteman dengan si dungu. Hiduplah menyendiri tanpa berbuat jahat dengan penuh ketenangan, bagaikan gajah yang mengembara dengan bebasnya dalam hutan."

Pada akhir dari gatha ini diucapkan limaratus bhikkhu menjadi arahat. Kemudian bhikkhu Ananda menyampaikan pesan yang dikirimkan oleh upāsaka Anathapindika dan lain-Iain, berkata : "Bhante lima koti ariya puggala dipimpin oleh Anathapindika mengiginkan kedatangan Bhante."
"Baiklah," jawab Sang Buddha, ambillah patta dan Civara. Setelah menyuruh mereka mengambil patta dan civara. Sang Buddha menyuruh mereka pergi duluan.
Gajah berjalan dan berdiri menghalang-halangi di jalan.
"Bhante apa yang sedang dilakukan oleh gajah ?"
"Bhikkhu ia mau memberikan dana kepada kamu sekalian. Karena sudah cukup lama ia membantuKu, maka tidak pantas melukai perasaannya. 0, bhikkhu kembalilah." Sang Buddha dan para bhikkhu kembali, gajah masuk kedalam hutan, mengumpul pisang dan macam-macam buah-buahan, mengumpulkannya bersama-sama dan pada keesokan harinya ia memberikan buah - buahan itu kepada para bhikkhu. Kelima ratus bhikkhu tak dapat menghabiskannya. Sehabis makan Sang Buddha mengambil patta dan civara lalu berjalan. Gajah berjalan mendahului para bhikkhu dan berdiri menghalang didepan Sang Buddha.
"Bhante apakah maksud dari gajah ini ?"
"Setelah ia mendahului kamu, ia mau supaya saya balik kembali," Lalu Sang Buddha berkata kepada gajah: "Pārileyyaka, sekarang saya mau pergi, dan tak akan pernah kembali. Engkau tidak usah mengharapkan untuk mencapai Jhana dalam kehidupan ini, ataupun untuk mencapai kesucian-ariya, magga atau phala. Berhenti, sudah cukup !"
Setelah gajah mendengar hal ini, ia memasukkan belalainya kedalam mulutnya, mundur dengan perlahan, menangis dan berjalan (bila gajah dapat menyebabkan Sang Buddha balik, maka ia akan memperlakukan hal yang sama setiap hari ).
Ketika Sang Buddha telah mencapai batas desa. beliau berkata “Pārileyyaka, lebih maju dari pada ini adalah tidak sesuai lagi bagimu. Penduduk kampung akan gemetar dan ketakutan melihatmu. Berhenti!" Gajah berhenti ditempatnya dan menangis. Selagi Sang Buddha perlahan-lahan menghilang dari pandangan mata, ia mati dengan patah hati, karena kesedihan. Karena keyakinannya kepada Sang Buddha ia punabbhava di alam surga Tavatimsa dalam sebuah istana emas seluas tiga puluh yojana, disertai seribu bidadari, dan namanya adalah deva Pārileyyaka.
Akhirnya Sang Buddha tiba di Jetavana. Bhikkhu-bhikkhu di Kosambi mendengar bahwa Sang Buddha telah kembali ke Savatthi, pergi kesana untuk meminta maaf kepada Beliau. Raja Kosala mendengar bahwa bhikkhu-bhikkhu dari Kosambi yang bertengkar datang ke Savatthi, menjumpai Sang Buddha dan berkata : "Bhante saya tidak akan mengizinkan bhikkhu-bhikkhu tersebut masuk dalam kerajaanku."
"Maharaja, bhikkhu-bhikkhu itu adalah orang-orang baik, karena adanya salah paham maka mereka tidak memperhatikan kata-kata KU. Sekarang mereka datang untuk minta maaf kepada Ku, biarkanlah mereka datang, Maharaja."
Anathapindika juga berkata : "Saya tidak akan rnengizinkan bhikkhu bhikkhu itu masuk ke Vihara." Tetapi karena Sang Buddha menjawab seperti apa yang dikatakan kepada raja, maka akhirnya ia diam.
Ketika bhikkhu - bhikkhu tersebut sampai di Savatthi, Tathagata memerintahkan supaya tempat bermalam mereka di pisahkan. Bhikkhu-bhikkhu yang lainpun tidak mau duduk atau berdiri bersama-sama dengan mereka. Bhikkhu-bhikkhu lain selalu datang kepada Sang Buddha dan bertanya: "Bhante, dimanakan bhikkhu-bhikkhu Kosambi yang suka bertengkar itu ?"
Sang Buddha menjawab : "Mereka di sana."
Para bhikkhu yang datang bertanya tadi menunjuk-nunjuk kepada mereka, sehingga mereka merasa malu sekali dan tak sanggup mengangkat muka. Akhirnya mereka datang berlutut dan bernamaskara kepada Sang Buddha dan meminta maaf. Sang Buddha berkata kepada mereka :
"0, bhikkhu, berat sekali pelanggaran (apatti) yang telah kamu perbuat, setelah di upasampada kan menjadi bhikkhu oleh Buddha seperti Saya, walaupun Saya berusaha mendamaikan kamu, kamu menolak untuk melaksanakan kata-kata Ku. Sedangkan pada masa yang lampau, orang bijaksana mendengar baik-baik nasehat orang tuanya walaupun orang tuanya akan mati dihukum, ia tidak melanggar nasehat tersebut walaupun orang-tuanya telah meninggal dunia, akhirnya mengakibatkan dua negara yang bermusuhan menjadi bersahabat dan jaya. "Setelah berkata demikian, Beliau menceriterakan tentang Kosambika Jataka sekali lagi, yang kesimpulannya sebagai berikut :
"Demikinalah, O, para bhikkhu, Pangeran Dighavu walaupun ayah-ibunya telah tiada, namun ia tidak melanggar nasehat-nasehat mereka, akhirnya ia menikah dengan puteri raja Brahmadatta (musuhnya), dan hidup berdampingan sebagai kerajaan-kerajaan yang jaya Kasi dan Kosala. Tetapi kamu melawan nasehatku, akibatnya melakukan pelanggaran-pelanggaran yang berat." Setelah berkata demikian Beiiau mengucapkan gatha (syair ) ini :

6.  "Tetapi orang lain tidak mengerti bahwa kita hams hidup dengan mawas diri. Bila mereka mengerti akan hal ini maka 'perselisihan akan lenyap. "

Pada akhir kseimpulan gatha ini, semua bhikkhu yang berkumpul di tempat itu menjadi Sotapanna.

(sumber : YAMAKA VAGGA – SYAIR SYAIR KEMBAR  I.
                 Alih bahasa Bhikkhu Aggabalo
               Diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa-arama (Pebruari 1978)