Kamis, 23 Juni 2011

Cerita Jataka "CULLA KÂLA DAN MAHÂ KÂLA".

6.  CULLA KÂLA DAN MAHÂ KÂLA.

"Barang siapa yang hidup hanya mencari kesenangan..................."   Ajaran Dhamma ini dibabarkan oleh Sang Buddha ketika berdiam di dekat kota Setabya sehubungan dengan Culla Kâla dan   Mahâ  Kâla.

Culla Kâla, Majjhima Kâla dan Mahâ Kâla adalah tiga bersaudara yang tinggal di Setabya. Culla Kâla dan Mahâ Kâla, biasanya berkelana dengan lima ratus pedati ke berbagai daerah mendagangkan barang-barang dagangan, sedangkan Majjhima Kâla menjual barang-barang yang mereka berdua bawa. Pada suatu ketika kedua bersaudara ( Mahâ dan Culla Kâla ) membawa bermacam-macam barang dagangan mereka dengan lima ratus pedati ke Sâvatthi, mereka berhenti di antara Sâvatthi dan Jetavana, melepaskan pedati-pedati tersebut.
Di sore hari Mahâ Kâla melihat para Ariya upasaka-upasika berasal dari Sâvatthi dengan bunga dan dupa di tangan mereka, pergi mendengar Dhamma. "Kemanakah anda sekalian akan pergi?" tanyanya. la mendapat jawabnn bahwa mereka mau pergi mendengar Dhamma, lalu ia berpikir : "Saya akan pergi juga." Kemudian ia berkata kepada adiknya Culla Kâla : "Adikku, jagalah pedati-pedati ini, saya akan pergi mendengar Dhamma." Setelah berkata ia pergi, memberi hormat kepada Sang Buddha dan duduk di belakang para pengunjung. Pada hari itu Sang Buddha mengajarkan Dhamma yang sesuai dengan pikiran Mahâ Kâla, meringkaskan Dukkha Khandha Sutta serta sutta-sutta lainnya, dan menerangkan tentang bahaya bila terikat pada pemuasan napsu indriya. Mahâ Kâla, setelah mendengar khotbah berpikir : "Jadi orang akan meninggalkan segala sesuatu bila ia meninggal dunia. Bila orang meninggal dunia, bukan harta maupun sanak keluarganya dapat mengikutinya. Jadi buat apa saya tetap hidup sebagai orang awam (biasa) ? Saya mau jadi bhikkhu." Setelah semua pengunjung telah menghormat pada Sang Buddha dan pergi, ia mohon kepada Sang Buddha untuk meng-upasampadakannya (menahbiskannya) menjadi bhikkhu.
"Apakah kau tidak mempunyai keluarga yang pantas kau mintai izin ?" tanya Sang Guru.
"Saya mempunyai seorang adik, Bhante."
"Mintalah izin kepadanya."
"Baiklah, Bhante."   Demikianlah Mahâ   Kâla   menemui   Culla   Kâla dan berkata : "Adikku terimalah semua harta ini."
"Mengapa demikian, kakakku ?"
"Saya mau menjadi bhikkhu dibawah bimbingan Sang Buddha."
Culla Kâla berusaha membujuk kakaknya supaya membatalkan keinginan tersebut tetapi gagal. Akhirnya ia berkata : "Baiklah, kakakku, buatlah apa yang kau inginkan."
Mahâ    Kâla    pergi dan menjadi bhikkhu dibawah asuhan Sang Buddha.
Demikian pula akhirnya Culla Kâla menjadi bhikkhu. Tetapi Culla Kâla selalu diliputi oleh pikiran sebagai berikut : "Setelah beberapa lama kemudian, saya akan melepas jubah akan mengajak kakakku untuk lepas jubah pula."
Sedangkan Mahâ Kâla, berusaha mencapai cita-citanya, mendatangi Sung Buddha dan bertanya kepada Nya : "Ada berapa banyak tugas yang tordapat dalam Buddha Sasana ?"
Sang Buddha menjawab : "Ada dua tugas, yaitu Pariyatti Dhura (belajar) dan  Vipassana Dhura ( Samadhi )."
Mahâ Kâla berkata : "Bhante, karena saya telah tua, maka tak dapat melaksanakan Pariyatti Dhura lagi, tapi dapat melakukan Vipasanna Dhura" Lalu ia memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Samadhi, Sang Buddha mengajarkan samadhi yang berobjekkan pada Asubha Kammstthana (perenungan pada objek yang menjijikkan) sebagai dasarnya untuk mencapai kesucian Arahatta. la melaksanakannya, yaitu pada akhir 'masa waktu pertama'. ketika semua orang (penduduk) telah tidur, ia pergi ketempat pembakaran mayat, dan diwaktu pagi-pagi sekali sebelum penduduk bangun ia kembali ke vihara.
Pada waktu itu penjaga tempat pembakaran mayat adalah seorang wanita bernama Kali, dan bertugas untuk membakar mayat, ia melihatnya sewaktu bersamadhi dengan sikap duduk, berdiri dan berjalan, lalu Kali berpikir "Siapakah yang datang itu ? Saya mau mengetahuinya." Tetapi ia tidak dapat memenuhi keinginannya untuk mengetahui siapakah orang tersebut. Pada suatu malam ia menyalakan lampu di gubuk dekat pembakaran mayat, la menyembunyikan putera dan puterinya, kemudian ia menyemmbunyikan dirinya didekat tempat pembakaran mayat. Ketika ia melihat bhikkhu datang, wanita itu menemuinya, memberikan salam dan bertanya : "Bhante, apakah bhante menginap di tempat ini ?"
"Ya, upasika."
"Bhante bagi mereka yang menginap ditempat ini harus memenuhi beberapa peraturan."
Mahâ Kâla bhikkhu bukan mengatakan, 'apakah saya harus melaksanakan peraturan yang kau katakan,' melainkan ia berkata : "Apakah yang harus saya buat upasika ?"
Jawab penjaga krematorium tersebut : "Bhante, mereka yang mau menginap di tempat ini harus memberitahukan kedatangannya kepada penjaga tempat ini, juga kepada kepala vihara maupun kepala kampung."
"Mengapa ?"
"Karena maling yang melakukan pencurian, bila dikejar oleh berwajib sering melarikan dirinya kemari dan meninggalkan barang-barang curiannya ditempat ini, ketika pemilik barang dan berwajib datang kemari, mereka menganiaya orang yang berada di tempat ini. Tetapi bila petugas-petugas telah diberitahukan lebih dahulu, dan bila terjadi hal yang demikian maka mereka dapat menerangkan persoalan tersebut dengan mengatakan bahwa : "Kami tahu bahwa bhante ini menginap ditempat ini untuk beberapa hari lamanya dan ia bukan maling." Karena hal inilah maka bhante harus mengatakan kepada yang bersangkutan."
Bhikkhu Mahâ Kâla kemudian bertanya pula : "Adakah hal lain yang harus saya laksanakan lagi ?"
"Bhante, selama berada di tempat ini, bhante tidak boleh makan ikan, daging, sesame, gandum, lemak, air tebu; juga tak boleh tidur disiang hari, tidak boleh malas, harus bertekad teguh, semangat bernyala-nyala ( viriya ) dan berusaha untuk tidak berdusta dan menipu." Diwaktu malam ketika orang-orang telah tidur, bhante mesti keluar dari vihara datang kemari, dan sebelum orang orang bangun, bhante  telah   meninggalkan tempat ini. Sementara bhante dating ketempat ini untuk melatih diri berusaha mencapai kesempurnaan (arahatta), pada waktu itu bila ada orang membawa mayat dan meninggalkannya disini, saya akan menempatkan mayat itu diatas kayu dan melaksanakan upacara yang biasa dilakukan untuk pengkremasian. Tetapi bila dalam keadaan demikian bhante belum mencapai kesuksesan, maka saya akan mulai membakar mayat tersebut, menariknya dengan tongkat penggait, mengeluarkan mayat itu, memotong-motongnya dengan kampak, lalu membakarnya lagi."
"Maha Kâla menjawab : "Baik sekali, upasika. Tetapi, bilamana kau menemukan mayat yang kau pikir baik, amat cocok sekali untuk digunakan sebagai objek samadhi rûpârammaóa (objek rupa), tolong beritahukan kepadaku."
"Baik," jawabnya berjanji untuk memberitahukan hal itu.
Maka sesuai dengan kehendaknya sendiri bhikkhu Mahâ   Kâla bersamadhi di tempat pembakaran mayat. Sedangkan bhikkhu Culla Kâla menyibukkan dirinya dengan memikirkan kehidupan duniawi, selalu mengingat pada isteri dan anak-anaknya; berkata pada dirinya sendiri : "Kakakku keasyikkan dengan tugas yang sangat berat dan sulit."
Pada suatu hari, seorang wanita muda yang cantik diserang oleh penyakit, dan pada saat penderitaannya menghebat ia meninggal dunia di sore hari tanpa menunjukkan ketegangan-ketegangan penderitaan. Di malam hari keluarganya serta para kerabat membawa mayat tersebut ketempat pembakaran mayat juga membawa kayu-kayuan, minyak dan bahan-bahan lainnya, dan berkata kepada penjaga : "Bakarlah mayat ini." Mereka menyerahkan mayat tersebut kepadanya, dan setelah membayar ongkosnya mereka pergi. Ketika penjaga membuka kain penutup mayat, di dapatinya bahwa mayat wanita ini mempunyai tubuh yang indah dan cantik sekali, lalu ia berpikir : "Mayat ini adalah cocok sekali menjadi objek samadhi bagi para bhikkhu." Maka ia pergi menemui bhikkhu Mahâ Kâla, dan setelah menghormatinya ialu ia berkata : "Bhante saya mendapat mayat yang bagus sekali untuk dijadikan objek samadhi, marilah lihat."
"Baik," jawab Mahâ Kâla. Mahâ Kâla datang ketempat itu dan melihat mayat tersebut dari kaki sampai ke kepalanya. Lalu ia berkata : "Masukkan mayat yang indah dan cantik ini kedalam api; dan bilamana api telah menghanguskan kulitnya beritahukan kepadaku." Setelah berkata demikian Mahâ  Kâla pergi ketempat yang biasa ia tempati dan duduk.
Penjaga tersebut melaksanakan apa yang dipesankan kepadanya, sesudah itu memberitahukan kepada bhikkhu Mahâ Kâla. la datang melihat mayat tersebut, bagian tubuh yang telah terbakar kelihatan sebagai daging sapi yang meleleh, kakinya berlekatan dan tergantung, tangannya melingkar kebelakang, kulit dahinya mengelupas. Mahâ Kâla berpikir :
"Tubuh inilah, dahulu menyebabkan mereka yang melihatnya lupa akan ajaran-ajaran suci, tetapi sekarang telah lapuk dan mati." la kembali ketempat dimana ia bermalam, duduk dan merenungkan kelapukan ( jara ) dan kematian ( marana ) :

"Segala sesuatu yang berbentuk (sankhara) adalah tidak kekal (anicca). Sifat-sifatnya adalah muncul dan menjadi lapuk mereka muncul dan lenyap. Bagi mereka yang lenyap total (menjadi arahat — paribbhana) adalah tepatsekali."

Selesai mengucapkan gatha ini, Mahâ Kâla mengembangkan Vipassana dan mencapai ke-Arahat-an dengan memiliki Patisambhida (pengetahuan tentang Dhamma).
Ketika Bhikkhu Mahâ Kâla mencapai Arahat, Sang Buddha bersama para bhikkhu yang selalu mendatangi berbagai tempat tiba di Setabya dan masuk kehutan Siæsapâ. Isteri-isteri Culla Kâla mendapat berita bahwa Sang Buddha telah tiba, berpikir : "Sekarang kita akan mendapat kembali suami kita." Demikian mereka mengundang Sang Buddha dan para bhikkhu. Pada masa itu biasanya seorang bhikkhu disuruh memeriksa tempat yang akan digunakan  oleh Sang Buddha dan para bhikkhu, melihat posisi-posisi tempat duduk dan sebagainya, dan untuk itu ia akan memberikan saran-saran. Sebab biasanya tempat duduk duduk Sang Buddha adalah ditengah, disebelah kananNya adalah Sariputta, sebelah kiriNya adalah Moggalana Thera, dan selanjutnya adalah tempat duduk para bhikkhu yang lainnya. Pada saat itu Mahâ Kâla sedang berdiri  didekat tempat patta-patta dan jubah-jubah diletakkan, menyuruh Culla Kâla dengan berkata : "Kau pergilah dahulu dan aturlah tempat duduk sebaik baiknya."
"Pada saat keluarganya melihat bhikkhu Culla Kâla, mereka bersenda gurau dengannya, dengan menempatkan tempat duduk yang rendah bagi para thera, sedangkan bagi para samanera disediakan tempat-tempat duduk yang tinggi.
Lalu Culla Kâla berkata kepada mereka : "Jangan mengatur tempat duduk seperti itu, jangan letakkan tempat duduk para thera dibawah dan tempat duduk samanera diatas."
Tetapi wanita-wanita tersebut pura-pura tidak mendengarnya dan berkata: Apakah kerjamu datang kemari ? Apakah hakmu memerintah kami untuk mengatur tempat duduk ? Siapakah yang meng - upasampadakan kau jadi Bhikkhu ? mengapa kau datang kemari ?"
'Setelah mempermain-mainkannya demikian, mereka menarik jubahnya, dan menggantikannya dengan pakaian putih, mengalungkan bunga dikepalanya, serta menyuruhnya : “Undang Sang Guru datang, kami akan mengatur tempat-tempat duduk. Pada waktu itu bhikkhu-bhikkhu tidak  merasa  malu  bila  mereka melepaskan jubah walaupun belum mencapai satu vassa untuk kembali ke masyarakat biasa. Demikianlah Culla Kâla tanpa malu-malu ataupun ragu-ragu mengatur pakaiannya baik-baik dan pergi menemui Sang Buddha, bernamaskara pada beliau, mengundang Sang Buddha serta para bhikkhu untuk ke rumahnya.
Ketika para bhikkhu selesai makan, isteri-isteri  Mahâ Kâla berpikir  : "Isteri-isteri Culla Kâla telah mendapatkan suami mereka kembali, kita juga sebaiknya mendapat kembali suami kita." Demikianlah mereka mengundang Sang Buddha dan para Bhikkhu untuk makan dirumah besok. Tetapi pada keesokan harinya bhikkhu lain yang disuruh untuk memeriksa pengaturan tempat duduk, sehingga mereka gagal untuk mendapatkan Maha Kâla. Biasanya, bila Sang Buddha beserta para bhikkhu telah tiba dan mengambil tempat duduknya masing-masing, barulah mereka memberikan makanan. ( Pada waktu itu Culla Kâla mempunyai isteri dua orang, Majjhima Kâla mempunyai empat orang, sedangkan Mahâ Kâla mempunyai delapan orang). Bagi para bhikkhu yang mau makan mereka mengambil tempat duduk dan makan makanannya, sedangkan bagi mereka yang tidak mau makan pergi menyelesaikan urusan mereka masing-masing. Sang Buddha duduk dan memakan makanan yang disediakan. Setelah Beliau selesai makan, wanita-wanita itu berkata kepada Beliau : "Bhante, Mahâ Kâla akan mengucapkan anumodana        (ucapan terima kasih dengan memberikan Dhamma), setelah selesai ia akan kembali, maka sebaiknya Bhante pergilah dahulu."
Sang Buddha menjawab : "Baiklah, " dan kembali lebih dahulu.
Ketika Sang Buddha sampai dibatas desa, para bhikkhu saling berkata: "Apakah yang telah dibuat oleh Guru ? Apakah Beliau menyadari apa yang dilakukanNya atau tidak ? Kemarin Culla Kâla datang lebih dahulu, dan itulah yang menyebabkan ia lepas jubah, tetapi hari ini karena bhikkhu lain yang datang maka tidak terjadi apa-apa. Hari ini Sang Buddha menyuruh Mahâ Kâla tinggal disana sebentar". Kata bhikkhu yang lain : "Bhikkhu Mahâ Kâla adalah saleh dan baik sekali. Apakah ia akan lepas jubah ?"
Mendengar kata-kata mereka Sang Buddha berhenti dan bertanya : "Apakah yang kamu percakapkan, bhikkhu ?"
Mereka mengatakan persoalan tersebut, lalu Sang Buddha berkata : "Kamu tahu dengan jelas bahwa  Mahâ  Kâla tidak sama dengan Culla Kâla, bukan ?
"Ya, Bhante. Culla Kâla beristeri dua orang sedangkan Mahâ Kâla ada delapan isterinya. Bilamana delapan isterinya bersama-sama menangkap dan memeluknya, apa yang akan ia buat, Bhante ?"

"Bhikkhu, jangan berkata demikian, jawab Sang Buddha, Culla Kâla hidup dengan membiarkan pikirannya selalu diliputi dengan objek-objek duniawi yang menyenangkan, sedangkan anakku, Mahâ Kâla, tidak hidup untuk kesenangan duniawi melainkan tenang bagaikan batu karang yang teguh", setelah mengatakan hal tersebut diatas, Beliau mengucapkan gatha ( ayat Dhammpada) ini :

7.  "Barang siapa yang hanya mencari kesenangan duniawi, tidak melatih indriya - indriyanya, rakus dengan makanan, lengah dan kurang semangat, la dikuasai oleh Mara, bagaikan topan yang melanda pohon kecil yang lemah."

8.                  "Barang siapa yang tidak mencari kesenangan duniawi, melatih indriya-indriyanya, sederhana dalam makanan, berkeyakinan teguh dan bersemangat, ia tidak dapat dikuasai oleh Mara, bagaikan batu, karang yang teguh tak dapat dilanda oleh topan."

Isteri-isteri Mahâ Kâla rnengelilinginya dan berkata : "Siapakah yang mengizinkan kamu menjadi bhikkhu ? Maukah kau lepas jubah ?" Dan setelah mengatakan banyak hal-hal lainnya, mereka berusaha untuk memegang dan menarik jubah (civara)-nya. Tetapi Mahâ Kâla menyadari maksud mereka, dengan posisi duduk bersila ia terangkat dari tempat duduknya dan terbang dengan menggunakan kekuatan bathin ( iddhi - vidhi )-nya melampaui puncak pagoda. Setelah melayang di udara, ia turun di tempat dimana Sang Buddha berada yang baru saja selesai mengucapkan gatha diatas, lalu ia menghormati Beliau dengan bernamaskara.

(sumber : YAMAKA VAGGA – SYAIR SYAIR KEMBAR  I.
                 Alih bahasa Bhikkhu Aggabalo
               Diterbitkan oleh Yayasan Dhammadipa-arama (Pebruari 1978)

Renungan harian

Tidak ada seorangpun yang tidak berguna di dunia ini, karena tiap orang dapat meringankan beban orang lain.. (Charles Dickens)