BAB IV
MASA MENYEBARKAN DHAMMA
MULAI MENYEBARKAN DHAMMA
Pada suatu hari Sang Buddha memanggil berkumpul murid-muridnya yang berjumlah enampuluh orang Arahat dan berkata:
"Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, O bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat badaniah; demikian pula kamu sekalian. Sekarang kamu harus mengembara guna kesejahteraan dan keselamatan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Khotbahkanlah Dhamma yang mulia pada awalnya, mulia pada pertengahannya dan mulia pada akhirnya. Umumkanlah tentang penghidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Terdapat mahluk-mahluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma mereka akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang besar. Mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senânigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma."
Kemudian berangkatlah keenampuluh Arahat itu sendiri-sendiri ke berbagai jurusan dan mengajar Dhamma kepada penduduk. yang mereka jumpai. Sewaktu mengajar mereka kerap kali bertemu dengan orang yang ingin menjadi bhikkhu. Karena mereka sendiri belum bisa mentahbiskannya, maka dengan melakukan perjalanan jauh dan melelahkan mereka membawa orang itu menghadap Sang Buddha. Melihat kesulitan ini maka Sang Buddha memperkenankan para bhikkhu untuk memberikan pentahbisan sendiri.
"Aku perkenankan kamu, O bhikkhu, untuk mentahbiskan orang di tempat-tempat yang jauh. Inilah yang harus kamu lakukan. Rambut serta kumisnya harus dicukur, mereka harus memakai jubah Kâsâya (jubah yang dicelup dalam air larutan kulit kayu tertentu), bersimpuh, merangkapkan kedua tangannya dalam sikap menghormat dan kemudian berlutut di depan kaki bhikkhu. Selanjutnya kamu harus mengucapkan dan mereka harus mengulang ucapanmu: 'Aku berlindung kepada Sang Buddha; aku berlindung kepada Dhamma; aku berlindung kepada Sangha, dan seterusnya'."
Mulai saat itu terdapat dua (para pentahbisan, pertama yang diberikan Sang Buddha sendiri dengan memakai kalimat' "ehi bhikkhu" dan yang kedua diberikan oleh murid-muridnya yang dinamakan pentahbisan "Tisaranagamana”
Dalam perjalanan dari Uruvela ke Benares, pada suatu hari Sang Buddha tiba di perkebunan kapas dan beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang. Tidak jauh dari tempat itu tiga puluh orang pemuda sedang; bermain-main yang diberi nama Bhaddavaggiya. Dua puluh sembilan orang sudah menikah, hanya seorang belum. la membawa seorang pelacur. Selagi mereka sedang bermain-main dengan asyik, pelacur tersebut menghilang dengan membawa pergi perhiasan yang mereka letakkan di satu tempat tertentu.
Setelah tahu apa yang terjadi mereka mencari pelacur tersebut. Melihat Sang Buddha duduk di bawah pohon, mereka menanyakan, apakah Sang Buddha melihat seorang wanita lewat di dekat situ. Atas pertanyaan Sang Buddha mereka menceritakan apa yang telah terjadi Kemudian Sang Buddha berkata: "O, anak-anak muda, cobalah pikir, yang mana yang lebih penting. Menemukan dirimu sendiri atau menemukan seorang pelacur?" Setelah mereka menjawab bahwa lebih penting menemukan diri mereka sendiri, maka Sang Buddha kemudian berkhotbah tentang Anupubbãkatha dan Empat Kesunyataan Mulia. Mereka semua memperoleh Mata Dhamma dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Setelah ditahbiskan, mereka dikirim ke tempat-tempat jauh untuk mengajarkan Dhamma.
KASSAPA BERSAUDARA
Di tiga tempat sepanjang sungai Nerañjarâ tinggal tiga orang Kassapa bersaudara yang menjadi pemimpin kaum Jatila yang memuja api. Yang tertua disebut Uruvela Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hulu sungai dan mempunyai pengikut sebanyak lima ratus orang. Yang kedua disebut Nadã Kassapa, bertempat tinggal di sebelah hilir sungai dan mernpunyai pengikut sebanyak tiga ratus orang. Yang ketiga disebut Gayâ Kassapa, bertempat tinggal di tempat lebih hilir dari Nadã Kassapa dan mempunyai pengikut sebanyak dua ratus orang.
Pada suatu hari Sang Buddha tiba di Uruvela dan mengunjungi Uruvela Kassapa. Di tempat ini Sang Buddha harus memperlihatkan bermacam-macam kekuatan gaib untuk menundukkan Uruvela Kassapa yang ternyata juga mahir dalam melakukan ilmu-ilmu gaib. Salah satu contoh dapat diceritakan scbagai berikut:
"Kalau Anda tidak keberatan, Kassapa, aku ingin bermalam di pondokmu."
"Tentu saja tidak, Gotama Yang Mulia, aku tidak keberatan Anda bermalam di pondokku. Tetapi Anda harus tahu, bahwa seekor ular kobra yang besar dan ganas sekali menjaga api suci yang terdapat di pondokku. Tiap malam ular itu keluar dan aku kuatir Anda akan celaka," jawab Uruvela Kassapa.
"O, tidak apa-apa. Kalau Anda tidak keberatan Aku akan bermalam di pondokmu."
"Kalau begitu baiklah. Selamat malam dan semoga Anda selamat."
Sang Buddha juga mengucapkan selamat malam kepada Uruvela Kassapa dan masuk ke dalam pondok. Sang Buddha duduk bermeditasi dan menunggu munculnya ular kobra tersebut.
Waktu tengah malam benar saja seekor ular kobra besar datang menghampiri Sang Buddha. Ular itu menyemburkan uap beracun dan mencoba menggigit Sang Buddha. Tetapi semburan uap beracun maupun usaha untuk menggigit Sang Buddha ternyata sia-sia saja. Sang Buddha tetap duduk bermeditasi dengan mengembangkan gaya-gaya Metta (cinta-kasih) dan budan-Nya seolah-olah dikelilingi oleh semacam perisai yang tidak dapat ditembus.
Esok paginya Uruvela Kassapa datang menjenguk Sang Buddha dan mengira akan menemukan mayat-Nya. la terkejut melihat Sang Buddha sedang duduk bermeditasi.
Uruvela Kassapa bertanya apakah Sang Buddha tidak diganggu oleh ular kobra. "Tidak, ular itu ada di sini," jawab Sang Buddha dan membuka tutup mangkuk yang biasa dipakai untuk minta-minta makanan. Keluarlah seekor ular kobra yang mendesis dengan ganas sehingga Uruvela Kassapa cepat-cepat ingin menyingkir. Tetapi Sang Buddha menahannya dan berkata bahwa Beliau mempunyai kemampuan untuk menjinakkan ular kobra.
Pada kesempatan lain sewaktu turun hujan lebat dan semua tempat di daerah itu digenangi air banjir, kembali Sang Buddha memperlihatkan kekuatan gaib-Nya. Di tempat Sang Buddha berdiri atau berjalan, air "membelah" membuka jalan, sehingga kaki dan tubuh Sang Buddha tidak basah kena air.
Akhirnya Uruvela Kassapa dapat diyakinkan bahwa ia bukanlah tandingan Sang Buddha dan ia juga tahu, bahwa ia belum mencapai tingkat Arahat sebagaimana dikiranya semula. Ia juga dapat diyakinkan bahwa pemujaan api tidak dapat membawa orang ke Pembebasan Sempurna. Dengan lima ratus orang pengikutnya ia kemudian membuang semua peralatan yang dipakainya dalam pemujaan api ke dalam sungai dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu.
Pada suatu hari Nadã Kassapa yang bertempat tinggal di sebelah hilir sungai menjadi terkejut melihat banyak peralatan sembahyang terapung di sungai. Ia mengira bahwa suatu bencana hebat telah menimpa diri kakaknya.
Dengan tergesa-gesa, diikuti tiga ratus orang pengikutnya, Nadã Kassapa pergi ke tempat Uruvela Kassapa.
Setelah tiba, Nadã Kassapa melihat bahwa kakaknya sudah menjadi bhikkhu. Selanjutnya Nadã Kassapa diberi penjelasan tentang sia-sianya memuja api, sehingga akhirnya ia bersama-sama pengikutnya pun menjadi bhikkhu. Hal yang sama juga terjadi pada diri Gayâ Kassapa beserta para pengikutnya. Dengan demikian tiga kelompok kaum Jatila yang berjumlah 1.003 orang telah menjadi pengikut Sang Buddha.
Setelah beberapa waktu di Uruvela, Sang Buddha beserta rombongan melanjutkan perjalanannya menuju Gayãsãsa di tepi sungai Gayã.
Di tempat itu Sang Buddha mengumpulkan murid-muridnya dan memberikan khotbah yang kemudian dikenal sebagai Ādittapariyãya Sutta.
Ringkasan dari khotbah itu adalah sebagai berikut:
"O, bhikkhu, semuanya menyala. Apakah itu yang menyala? Mata, penglihatan, kesadaran mata, kesan-kesan mata dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan mata (Ini adalah kelompok pertama).
Telinga, suara, kesadaran telinga, kesan-kesan telinga dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan telinga (Ini adalah kelompok kedua).
Hidung, bebauan, kesadaran hidung, kesan-kesan hidung dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan hidung (Ini adalah kelompok ketiga).
Lidah, rasa, kesadaran lidah, kesan-kesan lidah dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan atau netral yang timbul dari kesan-kesan lidah. (Ini adalah kelompok keempat).
Tubuh, sentuhan, kesadaran tubuh, kesan-kesan tubuh dan semua perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenang atau netral yang timbul dari kesan-kesan tubuh. (Ini adalah kelompok kelima).
Batin, pikiran, kesadaran batin, kesan-kesan batin dan lainya perasaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dan netral yang timbul dari kesan-kesan batin. (Ini adalah kelompok keenam).
Semua itu menyala-nyala. Menyala dengan apa? Menyala dengan api dari keserakahan, kebencian dan khayalan yang menyesatkan; menyala dengan api dari kelahiran, usia tua dan kematian; menyala dengan api dari kesedihan, ratap tangis, sakit, dukacita dan putus asa.
Seorang Siswa Yang Ariya yang melihat keadaan ini akan merasa jemu. Karena merasa jemu ia akan melepaskan nafsu-nafsu keinginan. Karena melepaskan nafsu-nafsu keinginan batinnya tidak melekat lagi kepada segala sesuatu.
Karena tidak melekat lagi kepada sesuatu akan timbul Pandangan Terang, sehingga ia mengetahui bahwa ia sudah terbebas. Ia tahu bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; kehidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apapun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung."
Setelah Sang Buddha selesai memberikan khotbah, batin bhikkhu-bhikkhu tersebut terbebas seluruhnya dari kemelekatan dan bersih dari kekotoran batin. Mereka semua mencapai tingkat yang tertinggi, yaitu menjadi Arahat.
MAHA KASSAPA
Dalam perjalanan ke Rajagaha Sang Buddha tiba di suatu tempat perbatasan antara kota Rãjagaha dan Nãlandã dan beristirahat di bawah pohon beringin Bahuputtaka.
Pada waktu itu seorang pertapa bernama Pipphali lewat di tempat itu. Pipphali adalah anak seorang Brahmana dari keluarga Kassapa yang bernama Kapila dengan istrinya yang bernama Sumanãdevã dari desa Mahãtittha di negara Magadha.
Ia menghampiri Sang Buddha dan setelah mengetahui bahwa yang diajak bicara adalah seorang Buddha, Pipphali mohon diterima menjadi murid.
Sang Buddha mentahbiskannya dengan cara memberikan tiga buah nasehat: "O Kassapa, engkau harus selalu ingat bahwa pertama, engkau harus hidup sederhana dan patuh kepada para bhikkhu yang tua, yang muda dan yang setengah tua. Kedua, engkau harus mendengarkan Dhamma dengan baik, memperhatikannya dan merenungkannya. Ketiga, engkau harus selalu menyadari dan memperhatikan tubuhmu dan terus-menerus mengambil tubuhmu sebagai obyek meditasi."
Setelah ditahbiskan, Kassapa mohon untuk menukar jubah-nya yang baru dengan jubah Sang Buddha yang sudah tua. Kemudian Sang Buddha bangkit dan meneruskan perjalanan-Nya menuju Rãjagaha.
Bangga karena merasa mendapat kehormatan besar dapat memakai jubah bekas Sang Buddha, Kassapa kemudian dengan tekun melaksanakan latihan Dhutanga. Pada hari kedelapan ia mencapai tingkat kesucian Arahat.
Maha Kassapa sering dijadikan suri teladan tentang sikap yang baik dari seorang bhikkhu yang berdiam di hutan. Selama menjadi bhikkhu sampai berusia lanjut, Mahã Kassapa selalu tinggal di hutan, tiap hari mengumpulkan makanan, selalu memakai baju bekas (Pembungkus mayat); sudah puas dengan pemberian yang sedikit (kecil), selalu hidup menjauhi masyarakat ramai dan terkenal rajin sekali.
Menjawab pertanyaan, mengapa beliau menuntut penghidupan yang demikian keras, Maha Kassapa mengatakan bahwa Beliau berbuat semuanya itu bukan hanya untuk kebahagiaan dirinya sendiri tetapi juga demi kebahagiaan orang lain di kelak kemudian hari. Mahã Kassapa dipandang sebagai contoh yang baik sekali untuk orang yang benar-benar ingin melaksanakan hidup suci. Sebagai penghormatan beliau diberi nama Mahã Kassapa (Kassapa Agung).
Tiga bulan setelah Sang Buddha meninggal dunia Mahã kassapa mengetuai Sidang Agung (Sangha-samaya) yang pertama dengan dihadiri oleh 500 orang Arahat di Goa Sattapanni, kota Rãjagaha untuk menghimpun semua tata tertib bagi para bhikkhu dan bhikkhuni dan semua khotbah Sang Buddha yang pernah diberikan di tempat-tempat yang berlainan, kepada oiang-orang yang berlainan dan pada waktu yang berlainan pula selama 45 tahun.
Mahã Kassapa meninggal dunia pada usia 120 tahun.
RAJA BIMBISĀRA Di sebelah tenggara Jambudipa terdapat sebuah negara besar dan berpengaruh, yaitu negara Magadha yang berpenduduk padat dan kaya raya dan di sebelah Timurnya terletak negara Anga. Raja Bimbisãra adalah Mahã-raja negara Magadha dan Anga tersebut dengan ibukota Rãjagaha.
Setelah beberapa lama diam di Gayãsãsa, Sang Buddha melanjutkan perjalanannya menuju Rajagaha dan berhenti di hutan kecil Latthivana.
Dalam waktu singkat tersiar berita bahwa pertapa Gotama, putra Sakya, sekarang berada di Rãjagaha dan berdiam di hutan kecil Latthivana. Beliau adalah seorang Arahat, seorang yang telah memperoleh Penerangan Agung, dan mengajar Dhamma yang mulia di awalnya, mulia di pertengahannya dan mulia di akhirnya; yang telah mengumumkan penghidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan dalam hakekatnya. Melihat seorang Arahat yang demikian itu bermanfaat sekali agar keinginan orang dapat terkabul.
Mendengar berita itu Raja Bimbisãra datang mengunjungi Sang Buddha dengan diikuti pengiringnya. Setelah memberi hormat Raja kemudian duduk di satu sisi. Tetapi para pengiringnya bersikap macam-macam dan ada yang bersikap acuh tak acuh. Ada yang berlutut; ada yang hanya memberi hormat dengan ucapan; ada yang menyembah; ada yang memberitahukan namanya dan juga nama keluarganya; dan ada yang duduk diam saja.
Sang Buddha, yang melihat sikap acuh tak acuh dan kurang hormat dari pengiring Raja, tahu bahwa mereka masih belum siap untuk menerima Ajaran. Karena itu Sang Buddha memandang perlu agar Uruvela Kassapa terlebih dulu memberikan keterangan tentang sia-sianya pemujaan yang dulu ia lakukan. Hal ini perlu untuk menyingkirkan keragu-raguan sebelum mereka siap untuk mendengarkan Dhamma. Karena itu Sang Buddha berkata kepada Uruvela Kassapa: "O Kassapa; kamu sudah lama berdiam di Uruvela dan menjadi pemimpin kaum Jatila yang pandai dalam upacara keagamaan. Apakah sebabnya sehingga kamu berhenti melakukan pemujaan api yang biasa kumu lakukan? Aku tanya padamu, O Kassapa, mengapa kamu mninggalkan kebiasaan memuja api?" Uruvela Kassapa menjawab: "Semua Yanna atau upacara dengan mempersembahkan sesajen bertujuan untuk memperoleh penglihatan, suara, rasa dan wanita yang menggiurkan, yang didambakan manusia. Persembahan sesajen itu menimbulkan harapan bahwa setelah melakukan persembahan tersebut orang akan dapat memperoleh hasil yang diinginkan. Telah kuketahui Sekarang bahwa kesenangan-kesenangan indriya tersebut merupakan kekotoran batin yang membuat orang dicengkeram oleh nafsu-nafsu. Karena itu aku tidak lagi tertarik melakukan praktek pemujaan api."
Kemudian Sang Buddha bertanya lagi: "Setelah kini kamu tidak lagi tertarik kepada penglihatan, suara dan rasa yang menjadi obyek bagi kesenangan indriya, O Kassapa, apa sebenar-benarya yang kamu cari di alam manusia dan alam dewa ini? Coba kamu ceritakan."
Kassapa menjawab: "Aku telah berhasil mencapai keadaan yang penuh damai, tanpa dikotori oleh nafsu-nafsu yang dapat menimbulkan penderitaan, tanpa keinginan untuk melekat, tanpa kemelekatan kepada alam kesenangan indriya, tanpa perubahan, tanpa tergantung pada kekuatan luar dan hanya dapat dialami oleh pribadi masing-masing. Karena hal-hal yang diatas itulah aku tidak lagi tertarik untuk melakukan praktek pemujaan api yang dulu kulakukan."
Selesai memberi jawaban Kassapa bangun dari tempat duduknya. Dengan jubah yang menutupi satu pundaknya (sebagai sikap menghormat) ia berlutut tiga kali di bawah kaki Sang Buddha dan mengaku bahwa Sang Buddha adalah Gurunya dan ia adalah muridnya.
Setelah keragu-raguan para hadirin dapat disingkirkan dan batin mereka sudah siap untuk menerima pelajaran, mulailah Sang Buddha memberikan khotbah tentang Anupubbãkatha dilanjutkan dengan Empat Kesunyataan Mulia.
Selesai Sang Buddha memberikan khotbah, sebelas dan dua belas orang yang hadir memperoleh Mata Dhamma dan yang lain memperoleh keyakinan yang tak tergoyahkan terhadap Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.
Kemudian Raja menceritakan tentang keinginannya semejak kecil.
"Dulu, sewaktu masih menjadi Putra Mahkota dan belum naik tahta kerajaan aku mempunyai lima macam keinginan. yaitu: pertama, semoga aku kelak naik di tahta kerajaan Magadha; kedua, semoga seorang Arahat yang memperoleh Penerangan Agung datang di negeriku sewaktu aku masih memerintah; ketiga, semoga aku memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Arahat tersebut; keempat, semoga Arahat tersebut memberikan khotbah kepadaku; kelima, semoga aku mengerti apa yang harus dimengerti dari Ajaran Arahat tersebut. Sekarang semua keinginanku yang berjumlah lima itu telah terpenuhi."
Selanjutnya Raja Bimbisãra memuji khotbah Sang Buddha dan menyatakan dirinya sebagai upasaka untuk seumur hidup dan mengundang Sang Buddha beserta para pengikutnya untuk datang besok siang mengambil dana (makanan) di istana. Kemudian ia bangun dari tempat duduknya, jalan memutar dengan Sang Buddha tetap di sebelah kanan dan pulang ke istana. Tiba di istana Raja memerintahkan untuk menyiapkan hidangan yang lezat-lezat. Keesokan hari Raja memerintahkan pengawalnya untuk mengundang Sang Buddha dengan pengiring-Nya datang ke istana. Setelah Sang Buddha tiba di istana dan mengambil tempat duduk yang disediakan, Raja sendiri turut melayani memberikan hidangan. Kemudian Raja memikirkan tempat yang layak yang dapat digunakan oleh Sang Buddha sebagai tempat tinggal. Raja teringat kepada Veluvanãrãma (Hutan Pohon Bambu) yang letaknya tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan desa di sekelilingnya. Tempat itu mudah untuk dicapai dan menyenangkan, tidak berisik waktu siang hari dan tenang di malam hari, cocok sekali untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang ingin berlatih untuk mendapatkan Pandangan Terang.
Dengan batin yang dipenuhi pikiran tersebut Raja Bimbisãra kemudian menuang air ke lantai dari kendi emas dan menerangkan bahwa beliau berhasrat menyerahkan Veluvanãrãma untuk dipakai oleh Sang Buddha beserta pengiringnya sebagai tempat tinggal. Sang Buddha menerima pemberian tersebut dan menggembirakan hati Raja dengan menerangkan tentang keuntungan besar yang dapat diperoleh dari dana tersebut.
Sang Buddha beserta pengiringnya pulang dan pindah ke tempat yang baru. Ini merupakan sumbangan tempat tinggal untuk para bhikkhu yang pertama, mulai hari itu Sang Buddha memperbolehkan para bhikkhu menerima pemberian serupa itu.
SĀRĪPUTRA DAN MOGGALLĀNA
Di Rajagaha waktu itu hidup dua orang pemuda dari llsta Brahmana yang kaya raya, yang sejak kecil bersahabat. yang satu bernama Upatissa, anak seorang wanita bernama Rūpasārī, yang lain bernama Kolita, anak seorang wanita bernama Moggalli.
Mereka berdua berguru kepada Sañjaya, seorang pertapa dari golongan Paribbājaka, yang mempunyai dua ratus lima puluh orang murid. Upatissa dan Kolita termasuk dua orang murid yang terpandai dan sering mewakili gurunya memberi binibirigan kepada murid-murid yang lain. Meskipun sudah belajar lama dan memiliki seluruh kepandaian gurunya, tetapi mereka berdua masih belum puas. Mereka kemudian berjanji, bahwa siapa di antara mereka kelak yang lebih dulu memperoleh Ajaran sempurna akan memberitahukan hal itu kepada yang lain.
Pada suatu hari Āyasmā Assaji, seorang dari lima orang bhikkhu pertama, kembali ke Rajagaha untuk memberi laporan kepada Sang Buddha tentang perjalanannya ke berbagai tempat untuk mengajar Dhamma.
Sebagaimana biasa Āyasmā Assaji tiap pagi mengumpulkan makanan dan waktu itulah beliau terlihat oleh Upatissa. Upatissa terkesan sekali melihat sikap Āyasmā Assaji yang demikian tenang dan agung. Setiap gerakannya memberi kesan berwibawa dan menuntut penghormatan dari orang yang melihatnya. Baik berjalan ke depan atau bertindak ke belakang, atau membentangkan atau menekuk tangannya, ia selalu kelihatan penuh keseimbangan dengan kepala agak tunduk sedikit dan mata ditujukan ke arah depan.
Pemandangan ini membuat Upatissa terpesona dan membangkitkan perasaan ingin tahu. Seketika itu ia ingin menegur tetapi kemudian membatalkannya karena ia menganggap waktunya kurang tepat berhubung waktu itu Āyasmā Assaji sedang mengumpulkan makanan. Ia menunggu sampai Āyasmā Assaji selesai makan dan kemudian mendekati serta memberi hormat "Saudara, pembawaan Anda luar biasa dan wajah Anda terang sekali. Dengan menjalankan kehidupan suci ini kepada siapakah Anda mengabdi? Siapakah Guru Anda? Dan Ajaran siapakah yang Anda ikuti?"
Āyasmā Assaji menjawab: "Saudara, dengan menjalankan kehidupan suci ini aku mengabdi kepada seorang Pertapa Agung, anak dari suku Sakya, yang telah menjadi bhikkhu dari keluarga Sakya. Pertapa Agung itulah yang menjadi Guruku Dan Ajaran-Nya yang aku ikuti."
"Apakah yang diajar Guru Anda, Saudara?"
"Aku seorang pendatang baru., Aku baru saja ditahbiskan. Aku belum berapa lama mengikuti Ajaran ini, sehingga aku tidak dapat memberikan Ajaran itu secara terperinci, Tetapi aku akan memberitahukan Anda garis besarnya!
"Baik sekali, Saudara. Bagi saya sama saja apakah Anda memberitahukan garis besarnya atau secara terperinci. Aku ingin mendengar intisari dari Ajaran tersebut; yang lain tidak dapat membantu apa-apa."
Āyasmā Assaji kemudian mengucapkan syair di bawah ini:
"Ye dhammā hetuppabhavā,
Tesang hetung Tathāgato,
Tesañca yo nirodho ca,
Evang vādī mahasamano."
Artinya:
"Semua benda yang timbul karena satu 'sebab'
'Sebabnya' telah diberitahukan oleh Sang Tathagata,
Dan juga lenyapnya kembali,
Itulah yang diajarkan Sang Pertapa Agung."
Mendengar syair tersebut, Upatissa seketika memperoleh Mata Dhamma (Dhammacakkhu) dan berkata dalam hatinya:
"Yankinci samudayadhammang
Sabbantang nirodha dhammang."
Artinya:
"Segala sesuatu yang timbul karena satu 'sebab ,
Di dalamnya pun terdapat 'sebab' yang membuat ia musnah kembali."
Kemudian Upatissa menanyakan tempat tinggal Sang Buddha. Setelah diberitahukan bahwa Sang Buddha pada saat itu berdiam di Veluvanarama, Upatissa kemudian mohon diri dari Āyasmā Assaji dan berjanji akan datang mengunjungi Sang Buddha bersama sahabatnya yang bernama Kolita.
Upatissa kembali ke tempat gurunya, Sañjaya dan memberitahukan Kolita peristiwa apa yang baru saja ia alami. la mengulang syair yang diucapkan Āyasmā Assaji dan seketika itu pula Kolita memperoleh Mata Dhamma dan menjadi seorang Sotâpanna. Kemudian mereka berdua melaporkan berita ini kepada Sañjaya dan mohon diperkenankan untuk mengunjungi Sang Buddha. Tetapi Sañjaya menolak untuk memberi izin. Akhirnya, tanpa izin, mereka berdua dengan diikuti dua ratus lima puluh orang muridnya pergi juga berkunjung kepada Sang Buddha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu. Dari kelompok ini dapat diceritakan bahwa mereka semua mencapai tingkat Arahat, bahkan para muridnya terlebih dulu mencapai tingkat kesucian tersebut, kemudian disusul oleh Kolita dan yang terakhir Upatissa.
Tujuh hari setelah ditahbiskan menjadi bhikkhu, Kolita menyepi di desa Kallavālamuttagāma di kota Magadha. Di tempat itu Kolita giat melatih meditasi untuk memperoleh Pandangan Terang. Pada satu ketika ia merasa ngantuk sekali. Sang Buddha menghampirinya dan memberikan petunjuk untuk menanggulangi perasaan ngantuk:
"Apa pun pencerapanmu pada waktu kamu diserang perasaan mengantuk, Moggallāna (Kolita di kemudian hari terkenal dengan namaa ini yang berarti: anak Moggalli), kamu harus terus menyadari pencerapan tersebut. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini tidak menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus mengulang dengan suara keras Dhamma yang pernah kamu dengar atau pelajari. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus menggosok-gosok kupingmu dengan jeriji dan mengusap-usap tubuhmu dengan tangan. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus bangun dan mencuci matamu dengan air, kemudian memandang ke sekelilingmu dan mengamat-amati bintang di langit. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus memusatkan pikiranmu kepada pencerapan dari cahaya terang, dan pikiranmu selalu membayangkan 'cahaya siang hari' baik pada waktu siang hari rriaupun pada waktu malam hari; membuka batinmu dari selubung yang menutupinya dan mengembangkan batinmu bermandi cahaya terang. Cara ini dapat menolong untuk mengusir perasaan mengantuk."
"Kalau cara ini masih belum menolong, kamu harus berbaring dengan 'sikap seekor singa', yaitu miring ke kanan dengan kaki kiri di atas kaki kanan, batin dalam keadaan 'sadar' dan pikiran terpusat kepada saat kamu ingin bangun.
Setelah bangun kamu harus segera bangkit sambil merenung 'Aku tidak ingin memanjakan diriku dengan berbaring, menyender atau tidur'. Ini Moggallāna, yang kamu harus selalu ingat."
"Selanjutnya, Moggallāna, kamu harus selalu ingat 'aku tidak boleh merasa ingin terlalu dihormat kalau masuk ke rumah seorang umat biasa'. Sebab, kalau seorang bhikkhu masuk ke rumah seorang umat biasa dengan perasaan ingin terlalu dihormat, dan pada waktu itu mungkin ada urusan rumah tangga yang sangat penting yang harus diselesaikan terlebih dulu sehingga bhikkhu itu 'terlupakan', maka akan timbul pikiran dalam batin bhikkhu tersebut: 'Siapakah yang menghasut orang ini terhadap diriku? Orang ini kelihatannya sekarang acuh tak acuh'. Karena merasa tak diacuhkan lagi timbul perasaan malu; karena malu pikirannya kacau; karena pikirannya kacau ia tidak dapat mengendalikan dirinya dengan baik; karena tidak dapat mengendalikan diri dengan baik ia gagal melakukan meditasi."
"Selain dari itu, Moggallāna, kamu harus selalu ingat: "aku tidak ingin mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pertengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain'. Sebab Kalau orang berbicara tentang sesuatu yang dapat menimbulkan per tengkaran atau mencari-cari kesalahan orang lain, maka hal itu mengakibatkan perdebatan yang panjang. Dengan adanya perdebatan yang panjang ia tak dapat memusatkan pikirannya. Karena tak dapat memusatkan pikirannya ia tak dapat mengendalikan diri; karena tak dapat mengendalikan diri ia gagal melakukan meditasi."
"Sekarang, Moggallāna, aku tidak selalu memujikan orang berkumpul; dan juga aku tidak selalu menolaknya. Aku tidak memujikan berkumpul dengan orang banyak, baik itu bhikkhu atau orang biasa. Tetapi kalau ada tempat sunyi dan tidak menganggu oleh suara berisik dari orang yang lalu lalang, cocok sekali untuk seorang pertapa yang menyukai kesunyian, cocok untuk dipakai sebagai tempat menyepi oleh mereka yang lebih menyukai hidup menyendiri, maka berdiam di tempat demikian itu selalu aku pujikan."
Setelah diberikan petunjuk di atas, Moggallāna menanyakan tentang kesimpulan terakhir bagi orang yang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginan dan sudah siap untuk memperoleh hasil 'di luar duniawi'. Sang Buddha menjawab:
"Moggallāna, seorang bhikkhu yang melaksanakan Dhamma ini tahu bahwa tidak ada sesuatu pun yang berharga untuk dilekati. Setelah tahu hal tersebut ia kemudian mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi; setelah mengamat-amati benda-benda itu dengan Kebijaksanaan Tinggi ia dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut; setelah dapat menyelami hakekat benda-benda tersebut maka sewaktu mengalami perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan atau netral ia memandangnya sebagai sesuatu yang tidak kekal. Jadi, ia memandangnya dengan perasaan jemu untuk kemudian me-nyingkir dan melepaskan diri dari perasaan tersebut.
Dengan merenung seperti itu ia tidak melekat lagi kepada apa pun dalam dunia ini; karena tidak lagi melekat ia tidak dapat lagi diganggu; karena tidak dapat lagi diganggu ia dapat menyingkirkan semua kekotoran batin dan mengetahui bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Dengan kesimpulan terakhir inilah, Moggallāna, seorang bhikkhu dapat dipandang sudah cenderung untuk menyingkirkan nafsu-nafsu keinginannya dan, sudah siap untuk memperoleh hasil 'di luar duniawi'."
Dengan melaksanakan petunjuk tersebut Moggallāna berhasil mencapai tingkat Arahat hari itu juga.
Lima belas hari setelah ditahbiskan, Upatissa (yang kemudian terkenal sebagai Sārīputta, anak Sārī), berdiam bersama-sama Sang Buddha di goa Sukarakhātā dari Gunung Gijjhakūta (Puncak Burung Nasar) di kota Rajagaha.
Seorang pertapa golongan Paribbājaka bernama Dighanakha dari keluarga Aggivesana pada suatu hari menghampiri Sang Buddha dan setelah saling mengucapkan kata-kata menghormat ia berdiri di satu sisi. la kemudian memberikan pandangannya dengan mengatakan, "Yang Mulia Gotama, semua benda tidak menyenangkan hatiku. Aku tidak merasa tertarik kepadanya." "Kalau begitu, Aggivesana, pandangan yang demikian itu pasti tidak menyenangkan hatimu dan sudah semestinya kamu tidak tertarik lagi kepadanya."
Setelah itu Sang Buddha menguraikan tentang adanya tiga pandangan mengenai hal tersebut.
"Ada kelompok Pertapa dan Brahmana, Aggivesana, yang mempunyai pandangan bahwa semua benda menyenangkan hati mereka; mereka tertarik kepada semua benda.
Ada kelompok lain berpegang teguh kepada pandangan bahwa semua benda tidak menyenangkan hati mereka; mereka tidak tertarik kepada apa pun juga. Kelompok ketiga mempunyai pandangan bahwa ada benda-benda yang menyenangkan hati dan mereka tertarik kepada benda-benda tersebut.
Terhadap benda-benda lain yang tidak menyenangkan hati, mereka tidak tertarik. Pandangan kelompok pertama ialah condong ingin memiliki benda-benda tersebut. Pandangan kelompok kedua condong untuk membenci atau mempunyai pikiran buruk terhadap benda-benda. Pandangan kelompok ketiga ialah condong ingin memiliki beberapa benda-benda dan membenci benda-benda yang lain.
Seorang bijaksana melihat bahwa kalau ia mengambil sikap dan mengatakan bahwa ini yang benar dan yang dua itu salah, ia akan bertentangan pendapat dengan mereka yang mempunyai kedua pandangan yang lain itu.
Dengan adanya pertentangan pendapat akan timbul pertengkaran.
Dengan adanya pertengkaran akan timbul perasaan benci. dengan adanya perasaan benci akan timbul permusuhan.
Setelah menyelami keadaan ini, seorang Bijaksana akan menyingkirkan pandangan itu dan juga tidak menganut pandang-pandangan yang lain. Dengan melakukan ini ia telah melepaskan ketiga pandangan tersebut."
Setelah menjelaskan tentang ketiga pandangan salah tersebut, Sang Buddha kemudian memberikan uraian tentang cara bagaimana orang dapat menyingkirkan kemelekatan.
"Tubuh ini, Aggivesana, terdiri atas empat unsur pokok (Mahabhutarupa), yaitu tanah, air, hawa udara dan api. la berasal dari ayah dan ibu, dibesarkan dengan makanan nasi dan sayur-sayuran; selalu memerlukan wangi-wangian dan sabun untuk menutupi bau yang menyerang keluar; dan selalu harus dibersihkan dan digosok (untuk membersihkan kotoran yang melekat di kulit)."
la ditakdirkan untuk lapuk dan membusuk. Kamu harus melihatnya sebagai sesuatu yang tidak kekal, penderitaan, sulit untuk dipertahankan; kamu harus melihatnya sebagai penyakit, sebagai bisul yang terkena anak panah dan menimbulkan kepedihan dan kesakitan; kamu harus melihatnya sebagai tanpa-aku. Kalau melihat semua ini dengan terang kamu dapat melepaskan keinginan terhadap kesenangan-kesenangan indriya.
"Selain dari itu, perasaan terdiri atas tiga jenis, yaitu yang menyenangkan, tidak menyenangkan, dan yang netral. Kalau perasaan menyenangkan timbul, maka perasaan tidak-menyenangkan dan netral tidak bisa muncul.
Kalau perasaan tidak-menyenangkan timbul, maka perasaan menyenangkan dan netral tidak bisa muncul. Kalau perasaan netral timbul, maka perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan tidak bisa muncul.
Itulah tiga jenis perasaan yang tidak kekal dan timbul oleh sesuatu sebab dan dilahirkan oleh sebab. Perasaan itu ditakdirkan untuk mati kembali, menyusut, menciut dan hilang sama sekali.
Siswa Yang Ariya, yang mengetahui hakekat yang sebenarnya, merasa jemu terhadap perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral.
Karena jemu ia akan melepaskan diri dari nafsu-nafsu keinginan.
Tanpa nafsu-nafsu keinginan ia akan bebas dari Kemelekatan
Dalam batin yang bebas dari Kemelekatan akan timbul pengetahuan bahwa batinnya sekarang benar-benar telah bebas. Siswa Yang Ariya itu tahu, bahwa ini adalah penghidupannya yang terakhir; penghidupan suci telah dilaksanakan dan selesailah tugas yang "harus dikerjakan dan tidak ada sesuatu apa pun yang masih harus dikerjakan untuk memperoleh Penerangan Agung. Bhikkhu yang demikian itu tidak mungkin akan bertengkar lagi mengenai sesuatu pandangan. Apa pun dalil keduniawian yang dikemukakan orang, ia dapat mengikutinya; tetapi ia tidak menganutnya dan juga tidak melekat kepada salah satu dalil."
Selama itu Sārīputta berdiri di sisi Sang Buddha dengan kipas di tangan dan mengipasi Sang Bhagava. Mendengar khotbah kepada Dighanakha ia berpikir, "Sang Bhagava menganjurkan untuk melepaskan ikatan kepada semua benda melalui Kebijaksaan Tertinggi."
Merenungkan arti yang terkandung dalam khotbah tersebut batinnya terbebas dari semua kekotoran batin dengan jalan menyingkirkan Kemelekatan.
Setelah khotbah selesai Dighanakha memperoleh Mata Dhamma dan terbebas dari keragu-raguan terhadap keampuhan dan keunggulan Dhamma. Ia memuji khotbah yang baru saja didengar dan menyatakan diri sebagai upasaka.
"Indah, sungguh indah Bhante. Dengan panjang lebar Bhante telah menguraikan Dhamma, menjelaskannya sebagai seorang yang telah menegakkan apa yang telah roboh, atau membuka apa yang tertutup, atau menunjukkan jalan kepada yang tersesat, atau menyalakan api sewaktu keadaan gelap gulita.Aku berlindung kepada Sang Buddha, Dhamma dan Sangha. Semoga Sang Bhagava menerima aku sebagai upasaka yang. berlindung kepada Sang Ti Rattana untuk seumur hidup."
Dengan cara-cara inilah Moggallāna dan Sārīputta memperoleh Penerangan Agung dan menjadi Arahat.
Sang Buddha sendiri pernah menerangkan dihadapan para bhikkhu dan bhikkhuni bahwa Sārīputta adalah murid-Nya yang terpandai dalam Kebijaksanaan dan Moggallāna yang terpandai dalam kekuatan gaib. Kalau Sang Buddha dinamakan Dhammaraja (Raja Dhamma) maka Sārīputta diberi gelar Dhammasenapati (Jendral Dhamma).
Pertemuan besar para Arahat
Ketika Sang Buddha berada di kota Rājagaha, seribu duaratus limapuluh orang Arahat datang berkumpul.
Pertemuan para Arahat tersebut dinamakan Cāturangasannipata atau Pertemuan Besar Yang Diberkahi dengan Empat Faktor, yaitu:
1. mereka berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dulu
2. mereka semuanya Arahat dan memiliki 6 (enam) kekuatan gaib (abhiñña)
3. semuanya ditahbiskan dengan memakai ucapan "Ehi bhikkhu
4. waktu itu Sang Buddha mengucapkan Ovāda Patimokkha.
Tempat mereka berkumpul adalah di Veluvanārāma (Hutan Pohon Bambu) dan waktu itu tengah hari pada saat purnamasidi di bulan Magha.
Ovāda Patimokkha yang diucapkan Sang Buddha adalah sebagai berikut (Dhammapada 183/5):
"Sabba pāpassa akaranang,
Kusalassa upasampadā,
Sacitta pariyodapanang,
Etang Buddhāna sāsanang.
Khanti paranang tapo titikkhā,
Nibbānang paramang vadanti Buddhā,
Na hi pabbajjito parûpaghāti,
Samano hoti parang vihethayanto.
Anûpavādo, anūpaghāto,
Pātimokkhe ca samvaro,
Mattaññuta ca sayanasanang,
Panthang ca sayanasanang
Adhicitte ca āyogo,
Etang Buddhāna sāsanang."
Artinya:
"Janganlah berbuat kejahatan,
Perbanyaklah perbuatan baik,
Sucikan hati dan pikiranmu,
Itulah Ajaran semua Buddha.
Kesabaran adalah cara bertapa yang paling baik,
Sang Buddha bersabda: Nibbanalah yang tertinggi dari semuanya,
Beliau bukan Pertapa yang menindas orang lain,
Beliau bukan pula Pertapa yang menyebabkan kesusahan orang lain.
Tidak menghina, tidak melukai,
Mengendalikan diri sesuai dengan tata-tertib,
Makanlah secukupnya,
Hidup dengan menyepi,
Dan senantiasa berpikir luhur,
Itulah Ajaran semua Buddha."
Peristiwa yang bersejarah ini hingga kini masih tetap dirayakan sebagai Māgha-Pūja, terutama oleh para bhikkhu di Muangthai.